Kusebut ini hari pertama,
walaupun semua orang tahu hari pertama adalah hari senin. Tapi
bagiku, hari pertama adalah hari selasa. Ya, hari ini di awal minggu
awal bulan agustus. Tidak selalu awal itu baik, tidak selalu juga
yang mengawali adalah yang terbaik. Segala sesuatu memang harus ada
yang mengawali, dan kali ini aku memilih yang mengawali.
Mengawali sama dengan
memulai. Iya, aku memulai hari ini, hari yang bagiku akan kuingat
sepanjang nafasku, tatkala senja sudah mulai berpulang. Hari ini,
hari saat aku mulai membuat rindu. Kepadamu, yang mulai hari ini
meninggalkanku tapi tak pergi, sesuai janjimu dan janjiku. Hari ini,
mulai kulakukan sendiri tanpamu, tapi tidak benar-benar tanpamu.
Karena suaramu nanti yang akan menemaniku, serta gambar yang sempat
kita abadikan bersama.
Oh ya, kita abadikan
menjadi sebuah cerita, bukan kenangan. Kita abadikan waktu yang fana
dan kita abadi di dalamnya. Kita abadikan beberapa bait manja serta
sajak yang mulai menggeliat dan akhirnya menjadi sayu, sebab
perpisahan tak bisa kita tolak dan perpisahan pula yang membuat bulir
air mata jatuh dan meriap jenuh di sepanjang kulit lembutmu.
Hari ini, aku mulai
berpisah denganmu. Entahlah, apakah ini selamanya ataupun sementara
aku tak peduli. Yang kupedulikan hanyalah, bahwasanya aku hari ini
berpisah muka denganmu. Lebih tepatnya dua hari sebelum hari ini.
Iya, dua hari sebelum hari ini tanpa bisa kugali kepahamanku yang
begitu sulit menemuimu. Sesulit aku menuliskan gambaran tentangmu, di
lembar ini. Entahlah, apakah engkau larut dengan perkataan mereka,
atau aku yang larut dengan berita-berita tak jelas tentangku yang
kukira sampai kepada telingamu. Iya, telingamu, bukan hatimu.
Ketika dua hari lalu
engkau tiba-tiba menghilang, walaupun tak benar-benar menghilang; aku
memarkir rinduku di sudut labirin terdalam. Iya, sangat dalam agar
aku kesulitan untuk mengambil rinduku kembali. Kecuali, kamu yang
membantuku mengambilnya untukku. Kurasa, kamu begitu mudah membuat
hijrah diriku. Aku tahu, aku bukanlah dia sebelum aku, yang aku pun
tak pernah mengenalnya. Tapi, hanya satu yang sanggup kutulis untukmu
agar kau menuliskan kembali. Jika aku bukanlah hal yang membuatmu
serius, berhentilah untuk mengucapkan sayang di beberapa kalimat
singkatmu di handphoneku. Berhentilah memelukku dari jauh, dan
berhentilah untuk ingin mengecupku seperti yang sering kita lakukan
sebulan ini, di sini. Satu lagi, berhentilah untuk datang di setiap
mimpiku dan di setiap layangan pikiranku, agar rindu yang sudah
kuparkir tadi tak beranjak menemuiku kembali. Itu yang harus kamu
lakukan jika kamu tak serius padaku.
Dua hari engkau
memenangkan pertandingan ini, tanpa lawan dan aku tak sanggup
melawanmu. Engkau menang menjadi wanita yang tak memperdulikanku
nomor satu dari sekian banyak wanita yang dulu pernah bersambung hati
denganku. Engkau sangat piawai membuat belukar rindu padaku walaupun
aku tahu, engkau sering mengabaikanku. Ah, iya mengabaikan, bukankah
kamu juga sering memelukku? Iya memeluk punggungku hingga hanya
nafasmu yang kudengar di telingaku. Memelukku dengan kaki lembutmu
melingkar di kakiku. Memelukku dan selalu mengatakan bahwa kamu tak
bisa jauh dariku. Memelukku hingga kedua ujung bibir kita terpagut
mesra hingga pagi membunuh malam yang hening. Tapi itu dulu, iya dulu
sebelum dua hari lalu. Dulu, sebelum hari ini. Dulu, yang mungkin kau
anggap angin lalu layaknya iklan tak jelas di televisi negeri ini.
Jika ini bukanlah rindu
sebab cinta anugerah, tapi cinta yang kau sengaja, berhentilah datang
di tiap mimpiku. Jika ini bukanlah cinta yang di dalamnya tertulis
sebuah cerita fiksi masa depan kita, apalah arti ciuman bibirmu yang
ragu-ragu padaku? Apalah arti selimut yang kita gunakan bersama?
Apalah arti kasur serta bantal yang dulu merapal doa dan percaya pada
kita untuk saling mempertautkan diri?
Atau memang telah tiada,
ombak yang tenang dan penuh harap hingga kita bisa mendekap
bersama-sama?
Probolinggo, Agustus
2014 ( untuk yang menyukai senja )