SENJA MASIH ADA


Jova memukul – mukul kepalanya tanda putus asa. Sudah beberapa kali ini dia melakukan itu, dan akupun hanya sanggup memberi dia sandaran tatkala dia membutuhkannya. Dan sampai detik inipun aku tak tahu apa yang menyebabkan kegundahan Jova.

Jova sebenarnya seorang gadis periang, seperti tak ada waktunya untuk bersedih, bahkan hal yang menuntut bulir – bulir air mata harus jatuh seperti gadis kebanyakan, jova tak pernah kulihat melakukan itu. Jova seperti senja yang selalu kutunggu, aku nikmati senyumnya bersama bulir – bulir pagi yang menetes, bersama terik siang yang selalu dia katakan hangat, dan bersama malam tanpa selimut yang tak pernah dia rasakan kedinginan.

Bahkan di saat dia terluka akan arti cinta, jova tak bersedih. Dia hanya berkata, “Cintaku padanya mungkin tertulis hanya sampai di sini. Dia tak pernah merenggut keabadian senjaku, karena dia hanya datang, bukan tinggal. Dan mungkin Tuhan masih merahasiakan kecintaan abadiku”. Jova pun terus melanjutkan hidup, tanpa dia toleh kembali kemarin sore, tanpa dia ingat kembali manisnya cinta yang telah terkhianati. Ya, jova adalah pribadi yang kuat, tak pernah berpikir sesaat, serta selalu bersemangat dalam hidup yang telah digariskan padanya.


Di balik keriangannya, jova juga pribadi yang anggun dan santun. Keanggunannya itu tercurah dari cara dia merias diri, cara dia mengenakan pakaian keseharian, yang selalu match di mataku. Tak jarang, aku sebagai sahabatnya melihat banyak lelaki yang tergila – gila padanya. Dan jova tetap saja seperti biasa, tak merasa istimewa, tak merasa langit putih yang banyak menunggunya di bawah. Jova tetap merasa orang biasa, anggun dalam kemolekan alami dan santun dalam tutur kata. Tak pernah aku mendengar melantunkan lagu memekakkan telinga walaupun orang itu telah menyakitinya.

Namun beberapa bulan ini jova berubah. Tak kulihat sinar semangat mendentum di matanya. Tak kulihat lagi tawa riuh di segala cuaca yang biasa dia lakukan. Dan tak kulihat lagi keanggunan abadi dalam diri jova, hanya jova dengan pakaian seadanya, dan jova dengan ketakberaturan hidupnya. Jova menjadi tak jelas, dalam bersikap dalam bertindak. Dia kehilangan, apa yang menjadi kebanggaanku padanya. Kehilangan apa yang menjadi nilai lebih jova dari gadis – gadis seumurannya.

Kali ini, hari ini, sore ini, secara tiba – tiba, dalam sandaranku dia menangis. Hal yang tak pernah dilakukannya, dan saat ini secara nyata aku melihat dia menangis.

Pelan – pelan aku membisikkan sesuatu, “kamu kenapa va? Ceritakanlah padaku jika itu kamu percaya beban hidupmu berkurang. Ceritakan padaku jika bulir – bulir itu masih mau kamu bagi kepadaku, sahabat kerianganmu”.

Ah, sudahlah Rey, aku hanya ingin menangis di pelukmu, tidak lebih. Atau kamu keberatan dengan semua ini?”, sahut Jova.

Bukan begitu Jova, kamu kan masih menganggapku sahabatmu? Aku tak ingin di saat seperti ini aku menjadi sahabat kebisuanmu. Aku bukan kertas yang selalu pasrah akan semua tulisanmu. Aku adalah sahabatmu, paling tidak untuk beberapa tahun ini”. Jova tak segera menjawab, dia tatap nanar wajah kebisuanku, sambil tetap matanya mengalirkan bulir – bulir yang membuatku trenyuh akan tetesan itu.

Kembali kudekap dia dalam pelukku. Pelan – pelan dia berkata, “Aku divonis Lupus oleh dokter beberapa bulan lalu, dan hidupku takkan lama lagi”, dengan tercekat suara jova.

Hah? Kok kamu baru menceritakan itu?”, tak sadar bulirku menetes teratur. Selang beberapa saat kami terdiam. Pikiranku melayang ke seantero perkiraan – perkiraan semu. Yang aku tahu, penyakit Lupus susah disembuhkan. Dari yang aku tahu, , Lupus adalah antibodi aneh yang bisa langsung menyerang jaringan sel tubuh, seperti pada sel-sel darah merah yang menyebabkan selnya akan hancur. Inilah yang mengakibatkan penderitanya kekurangan sel darah merah atau anemia.

Pikiranku mulai terisi hal – hal yang tak logis. Bagaimana kalo Jova tak bisa sembuh? Apakah jova tetap akan menghilangkan keriangannya? Apa yang harus kulakukan? Apa aku hanya diam menopang diriku sendiri? Atau aku menjauh sebab penyakit Jova? Bagaimana kalau Jova tak terselamatkan? Apakah sebab badik yang bernama Lupus persahabatanku usai dengan Jova? Apakah aku tak bisa melesat menopang jova agar takdir itu tak terjadi? Oh Tuhan, aku bingung.

Setelah aku bisa menguasai logikaku, aku berkata pada Jova, “Va, hidup ini tak sesingkat di tangan dokter. Dokter hanya mempunyai jatah obat, sedangkan jatah kesembuhan ada pada Tuhan. Aku tetap akan mendampingimu, dalam siluet pagi, panasnya siang dan sejuknya senja serta melangkah bersamamu dalam malam yang tak pernah kau bilang sepi”. Jova termenung dan terkesiap dengan kata – kataku. Seperti magis, jova diam tanpa ucap sedikitpun. Namun dari situ, aku melihat bulir – bulir itu sudah tak menetes lagi. Sinar kelegaan muncul di sanubarinya yang beberapa bulan lalu sempat tak jelas. Akupun mulai bahagia melihat sinar semangat itu kembali di matanya. Mata yang menurutku lentik dan sayang kalau hanya dilewati air mata kesedihan. Sang pemilik mata, haruslah tetap merasakan kebahagiaan, walaupun jika itu adalah hari terakhirnya.

Terima kasih Rey, kata – katamu menyejukkan hatiku”, sahut Jova.

Aku memang sudah putus asa, aku tak tahu harus berbuat apa. Berbulan – bulan lamanya aku berobat, dan aku tahu itu hanya sementara. Menahan laju virus itu dan memperpanjang umurku. Ya, hanya sementara”.

Tidak Jova, lanjutkan hidupmu, kamu boleh percaya dengan resep dokter, tapi jangan kamu percaya vonis kematian dia. Dokter itu hanya berucap berdasar keilmuan yang dia dapat. Tapi, keyakinan akan kesembuhanmu, dokter itu tak punya resep itu. Resep itu hanya ada padamu, maka dari itu, yakinlah. Yakinlah esok kamu masih bisa menikmati mentari, yakinlah senjamu masih pantas kau gilai, dan malammu masih mempesona untuk kau nikmati”

Terima kasih Rey, untuk semangat yang kau berikan untukku, terima kasih semuanya”, sambil terus membenamkan wajahnya ke dadaku, yang sudah menjadi kebiasaan jova. Tak sadar pula aku mengelus rambut indahnya, memberikan aroma keyakinan akan kehidupan esok, memberi semangat tak putus karena takdir dari sang dokter.

Tak sadar pula, dia pulas di bahuku, pulas dengan jiwa yang masih melekat. Jiwa yang akan selalu riang esok hari. Jiwa yang akan selalu menemaniku dengan riuh tanpa kesedihan menghunjam.

Dan jiwa yang selalu bertalu rindu.

Probolinggo, 1 Juni 2013 ( untuk sahabatku, sabar dan berjuanglah )

Share:

0 komentar