“Gimana Kabarmu Mas ?”
sebuah message masuk ke handphoneku. Tertera namanya,
perempuan yang sudah lama kutunggu. Ia seorang pegawai bank di
kotaku. Kami memang telah saling kenal sejak lama. Kuputuskan untuk
menjawabnya, “Alhamdulillah baik Dian, kamu sendiri gimana?”
“Baik mas, lama gak ketemu kita ya?”
“Iya nih, boleh kita sekedar ngopi di
kafe yang biasa dulu?”
“Wah, mas masih saja seperti dulu,
tak pernah basa basi. Hehe, boleh mas kapan?”
“Nanti sore gimana sepulang kamu
kerja?”
“Boleh mas, aku habis mutasi mas,
jadi perjalanan mungkin setengah jam ke situ.”
“Oh ya, gak apa-apa deh, aku tunggu
di situ ya.”
“Oke mas”
Kutaruh handphoneku, sambil
membayangkan seperti apa dia sekarang. Dia memang cantik, paling
tidak masuklah di penilaianku dengan nilai 8. Tetapi, mengejarnya
ibarat ombak yang terkadang tenang terkadang riak. Aku sendiri
bingung. Tapi sudahlah, toh dia
memulai menghubungiku, dan ini tak biasa bagiku.
***
Sekitar
pukul setengah lima, aku sudah berada di kafe Zachra menunggunya.
Kafe ini masih seperti dulu, sekitar tujuh bulan lalu. Memang aku
sudah lama tak pernah ke sini semenjak pengejaranku padanya
kuputuskan berhenti. Karena bagiku, buat apa lagi aku ke sini. Tidak
ada lagi sesuatu yang kukejar sampai hari ini.
Kukirimkan
message padanya
mengabari kalau aku sudah di kafe. Tak lama berbalas, ternyata dia
sudah dekat kafe, masih mampir ke toko sebentar katanya. Tak lama,
sepeda matic berwarna pink memasuki halaman kafe ini, dan aku sangat
hapal itu dia. Dengan senyum tersungging dari bibirnya, dia memarkir
sepeda dan langsung menuju ke arahku. Kebetulan, pengunjung kafe
sedang tak ramai. Jadi dia dengan leluasa bisa melihat mejaku.
“Menunggu
lama mas?” ujarnya sambil duduk di depanku.
“Oh,
tidak, kamu sudah kupesankan hot cappucino
kesukaanmu, semoga aku tak salah lagi.”
“Ups,
masih ingat saja kamu mas.”
Aku
tersenyum. Cukup lama kami diam beberapa menit sambil beradu tatap
mata yang bisa kurasakan tak biasa. Entah, sepertinya ia ingin
mengucapkan sesuatu.
“Loh
kok pada diem sih Dian?”
“He
eh, iya aku bingung mau ngomong apa.”
“Ngomong
aja, kamu kan tahu aku tak pernah bisa basa basi.”
“Iya
mas. Maafkan atas perlakuanku padamu dulu, yang tak pernah
mengganggapmu ada. Aku tahu mas mengejarku, tapi aku terlalu
menginginkan hal sempurna yang kukira takkan kudapat darimu, mas.”
“Iya
Dian, gak apa-apa aku tahu itu.”
Kulihat
warna matanya memerah, aku malah bingung melihatnya.
“Sudahlah,
apa yang kau sedihkan? Aku kan tidak masalah.”
“Tidak
mas, aku membayangkan saja seandainya aku menjadi kamu saat itu.”
“Iya,
aku memang merasakan itu, karena itu kuputuskan untuk berhenti
mengejarmu.”
“Iya
mas, tapi kali ini aku mau jujur padamu. Aku ingin menjadi
pasanganmu, seandainya rasa itu masih ada. Maafkan segala
kesalahanku dulu, padamu.”
Aku
terdiam, berpikir sejenak. Jujur aku masih memiliki rasa itu. Tapi
apa dengan mudahnya ini harus kulalui dan menghapus apa yang dia
lakukan padaku?
Pelan
– pelan aku bicara padanya, “Dian, kalau rasa jujur masih ada
walaupun itu seperti dulu. Tapi bukankah hujan tak selalu jatuh di
tempat yang tepat?'
“Iya
mas, tapi jatuhkanlah itu padaku, karena aku yakin engkau yang tepat
buatku.”
kuambil
secarik kertas pesanan, kutuliskan sebuah kata yang tak panjang.
Sambil menyerahkan padanya untuk membukanya di depanku.
“Aku
terlambat mas? Kepada Siapa yang kau jatuhkan pilihanmu?”
Aku
terdiam tak mampu bicara, dan kulihat bulir bening mulai mengalir
pelan d sela pipinya.