SEMALAM DI KAMAR DOKTER


Cerita ini bermula dari seringnya aku nongkrong di depan bakal museum baru, di kotaku. Museum yang dulunya rumah seorang dokter ketika jaman belanda. Nama dokter itu, “Dr. Saleh”, dokter yang berkebangsaan belanda, tapi sangat peduli dengan perjuangan kita, Indonesia, khususnya di kotaku, Probolinggo, Jawa Timur.

Rumah tua ini memang sudah tak pernah ditinggali oleh ahli warisnya, keturunan – keturunannya. Semua keturunannya berada di Jakarta, dan menyerahkan pengurusan rumah ini pada suami istri penjaga warung kopi depan rumah ini.

Jalan saja, di kawasan ini dinamai sesuai dengan namanya, “Jl. Dr. Saleh”. Yang konon dulunya tanah di kawasan ini adalah milik dokter, namun sudah banyak beberapa yang dihibahkan, baik menjadi tempat pendidikan / sekolah, rumah pribadi ataupun fasilitas publik seperti tempat nongkrong anak – anak muda. Dan rata – rata bangunan di sini sudah sangat tua, dan banyak juga yang memang disewakan oleh ahli warisnya dengan catatan tidak merubah bentuk asli bangunan.

Namun yang sangat tua, ya rumah dokter sendiri, dengan dibarengi cerita – cerita yang kadang kalau kita pikir tak masuk akal. Tak masuk akal karena mungkin saja ditambahi oleh sang pencerita. Karena cerita jalanan seperti ini masih rentan kebenarannya, dan hanya bermalam di situ aku pikir bisa membuktikan kebenarannya.

Beragam versi sih ceritanya, tapi rasa penasaran di dadaku tak pernah hilang. Sampai saat museum ini akan dibuka pun, aku sangat menggebu ingin tahu kebenaran cerita itu. Cerita yang menjadi obrolan sepi di warung kopi, cerita yang membuat merinding seperti akan dirajam sang penghukum.

Konon katanya, Dr. Saleh seorang belanda, yang sering mengobati para pejuang kita, bahkan ada yang sampai tak tertolong, meregang nyawa di rumah itu, dan langsung saja dikuburkan di situ. Karena saat itu tak mungkin untuk dikuburkan sempurna, mengancam keselamatan dokter itu sendiri. Dan jika itu terjadi, akan semakin banyak pejuang kita yang tak bisa melanjutkan perjuangannya sebab nyawa sudah terpisah dari raga.

Memang, konon di belakang rumah adalah kuburan para pejuang kita, bahkan saking penuhnya, terakhir diceritakan sampai dikubur di bawah lantai, tiap – tiap kamar yang ada di rumah tua itu. Terbanyak ada di kamar praktek dr. Saleh.

Dan memang, tiap malam rumah tua itu terlihat menyeramkan, walaupun sinar lampu banyak menyoroti tiap sudut rumah tersebut, namun kesan angker tak bisa hilang. Ditambah cerita – cerita horor yang tak pernah kunjung berhenti, menambah kesan angker yang melihatnya.

Ada saja cerita yang muncul, seperti orang yang berpakaian rapi ala pejuang 45, namun tubuhnya berlumuran darah. Ada pula yang pernah melihat bambu runcing tergeletak di samping rumah dan terdengar suara, “Tolong kami dokter, tolong kami, kami tak sanggup menahan rasa sakit, obati kami …. “ dan tiba – tiba saja suara itu hilang. Pernah juga yang mendengar suara derap sepatu tentara, seperti nyata saja rasanya. Dan suara itu selalu terdengar muncul seperti dari dalam rumah ataupun dari belakang rumah.

Dari penjaga rumah yang kebetulan juga sama istrinya berjualan di warung kopi depan rumah tua itu, aku juga pernah mendengar ceritanya. Kadang – kadang Dr. Saleh sendiri muncul, dengan baju serba putih dan topi bundar warna putih pula. Kadang dia datang berkuda kadang juga jalan kaki mengitari rumahnya.

Ada jam – jam tertentu ya pak kedatangan dokter?” tanyaku.

Ah, gak tentu juga mas, kadang lama gak terlihat, kadang – kadang hampir tiap hari”

itu benar ya pak? Masak pak dokter itu masih penasaran juga arwahnya?”

Bukan begitu mas, selama saya di sini, pernah sih saya di datangi pak dokter datang dalam mimpi setengah terjaga, dia bilang bahwa dia masih merasa ingin menolong para pejuang kita yang tak sempat tertolong dulu “ sahut bapak penjaga.

Ah, sejurus kemudian aku diam sambil menyeruput kopi hitamku, jadi penasaran saja rasa – rasanya. Dan tak lama aku memutuskan pulang saja, daripada rasa penasaranku bertambah, orang – orang di sekitarku nanti malah cerita banyak yang membuat bulu kudukku berdiri

Keesokan harinya, Saat senja seperti biasa aku datang kembali di warung kopi itu. Pikiranku kacau dengan perkiraan – perkiraan malam tadi. Perkiraan – perkiraan sebab kudengar cerita yang tak tentu kebenarannya. Perkiraan – perkiraan yang takkan berhenti sampai aku benar – benar melihat dengan mata kepalaku sendiri.

Setelah kopi disajikan, aku beranikan diri mohon ijin kepada bapak penjaga untuk masuk malam ini di rumah tua itu, rumah sang dokter, yang menjadi legenda di kotaku. Dan alhamdulillah, ternyata bapak mengijinkan sebab tahu kalau aku penasaran dibuatnya, sebab cerita – cerita dari mulut ke mulut itu.

Dan bapak penjaga berkata “ mas boleh masuk ke kamar mana saja, sebentar sebelum malam, saya buka semua kuncinya, biar mas tahu rasa seram di rumah itu”

Oh iya pak, terima kasih banyak”

Dengan catatan ya mas, jangan menyentuh, memindah barang – barang apapun, apalagi barang – barang dokter di kamar praktek … “ dengan tatapan serius si bapaknya itu.

Siiaap pak, aku hanya ingin tahu saja pak, gak lebih “ kataku nanar.

Sekitar jam 10 malam aku mulai masuk ke rumah itu, rencana sih aku tidur di rumah itu saja, sambil uji nyali. Aku mulai dari belakang rumah, tempat di luar rumah yang katanya banyak suara – suara aneh di situ. Aku sulut saja rokok kretekku, sambil aku pasang headset di telingaku dengan volume kuperkecil saja, biar ditemani lagu kesukaanku.

Fight the fight alone
When the world is full of Victims
Dims a fading light
In our souls

Leave the peace alone
How we are
all slowly changing
Dims a fading light
In our souls

beberapa bait awal “Broken Wings” milik Alter Bridge menemani malamku di rumah ini, sebagai pengusir sepi dan seram rasa di ujung hatiku.

Belum bait ketiga, sayup – sayup kudengar kelebat sesuatu seperti kain yang lewat di belakangku dan terdegup hatiku sejurus itu, kupejamkan mata, aku matikan musikku, ah bulu kudukku menjuntang hebat.

Dan berkali – kali pula kelebatan itu hadir di belakangku, dan selalu di belakangku. Tanp suara, tanpa ucapan nanar. Dan aku masih tak berani membuka mataku. Pelan – pelan aku duduk di tengah halaman belakang. Masih tetap aku terpejam, dari jauh kudengar suara lonceng tua. Bukan lonceng gereja di sebelah rumah tua ini, dan pastinya tak mungkin malam selarut ini penjaga gereja membunyikan lonceng, seperti tidak ada pekerjaan saja.

Lonceng itu masih jauh terdengar, dan aku ingat pesan pak penjaga rumah, pak Sahid.
Jikalau mulai ada suara lonceng, tunggulah, pasti pak dokter datang, tapi gak pasti malam lonceng itu berbunyi, bisa besoknya dan atau besoknya, itu penanda saja”

dan semakin riuh saja kelebat – kelebat di belakangku, sudah bukan satu orang lagi rasanya. Tambah larut semakin rame saja kelebat – kelebat itu, belum angin yang agak sepoi membangunka bulu kudukku.

Tiba – tiba, terdengar sesuatu yang jatuh ….
Buukk Brakkk...” sampai aku kaget dan berdiri membuka mataku.

Aku cari asal suara di pojok belakang rumah, ternyata sepi, nanar aku melihatnya. Tak kutemukan apa – apa, hanya sepeda tua yang tak terawat teronggok di sudut itu.

Aku kembali lagi ke tempat asalku tadi, sambil kupejamkan mata lagi, sayup – sayup lonceng masih terdengar dari kejauhan. Kelebat – kelebat itu masih tak berhenti saja, ditambah seperti ada orang mengayuh sepeda tua itu.

Suara rodanya jelas kutangkap dengan telingaku, jelas karena sudah aku lepas headset yang tadi menancap di telinga. Semakin lama ayunan roda itu semakin kencang, selang beberapa menit benda jatuh itu ada lagi. Dan kali ini rasanya tepat di atasku, aku beranikan diri membuka mata, melihat ke atas.

Terlihat ujung jari kaki seseorang di genteng rumah tua, dan segera menghilang. Aku berdiri dan mendongakkan kepalaku, tetap tak terlihat lagi.

Aku bertanya lirih “siapa kamu?”
tak ada jawaban, kelebat itu terlihat cepat, kain abu – abu seperti ikat kepala para pejuang jaman dulu lewat tepat di depanku, tak terlihat siapa yang memakainya.

Dari dalam tanah kudengar sayup minta tolong
Tolong dokter, tolong aku, tak kuat rasa perihku, bertahun – tahun aku rasa sesak di sini, tolong aku, tolong kami dokter”

lolongan itu sayup kudengar, dan kucoba menghampiri tepat di bawah tembok pembatas belakang bangunan ini. Derap langkah sepatu tentara semakin berat aku dengar, ramai saja malam ini di rumah ini.

Tak sadar beberapa saat, tiba – tiba kudengar seperti ada tetesan dari sudut tempat sepeda itu. Makin lama tetesan itu makin keras, seperti tetesan darah dibarengi dengan bau anyir, ah, aku mau lari saja kalau tak ingat niatku ingin menghapus rasa penasaranku.
Aku datangi lagi sudut itu, kosong, tak ada perubahan berarti. Sepeda itu juga masih teronggok tak bergerak dari tempat asalnya. Masih berkurang karatnya, tanpa bekas putaran roda. Roda itu juga masih putih berdebu. Apa mungkin hanya halusinasiku saja?

Ah, aku berpikir, daripada pusing mikir itu, mending aku masuk saja ke rumah tua ini, lewat pintu belakang. Pelan – pelan aku berjalan ke pintu belakaang, persis sebelah aku duduk tadi.
Dan tiba – tiba …...

Suarrrr Suarrr.... “

seperti bunyi air dari dalam rumah, yang disiram sengaja, kemudian berhenti. Kemudian seperti suara gemericik air, tak jelas suaranya, tapi masih dari dalam rumah. Aku lirik arlojiku, masih jam 23.54. masih sore aku pikir, waktupun masih banyak.

Ketika mulai aku pegang gagang pintu, kudengar langkah berat beraturan dari depan rumah. Seperti menuju samping rumah, dan aku diam saja. Mematung, sambil menunggu apa yang akan terjadi. Semakin lama, semakin berat langkah itu.

Suara langkah itu bukan suara derap sepatu yang tadi kudengar, suara langkah yang tak beralas kaki, atau mungkin hanya pakai sandal biasa. Sejurus kemudian suara itu berhenti, dibarengi sura pintu gudang di samping rumah yang dibuka oleh seseorang.

kret.. kret.. krett”, bunyi pintu itu tanda umur bangunan ini sudah tua tapi masih kokoh. Dan aku tetap mematung. Tak lama terdengar suara klik, seperti tombol yang ditekan. Lempeng saja dan beberapa menit kemudian pintu itu ditutup kembali dengan suara pelan.

Tak lama kemudian, langkah kaki itu menuju ke arahku, degup jantungku semakin keras. Pikiranku mulai membuncah tak jelas. Siapakah yang mendatangiku ini, siapa pula yang mau datang malam – malam ke rumah ini kalau bukan hantu.

Namun kali ini, langkah iku berjalan terseret, seperti suara – suara pertama aku datang di sini. Dan gemericik air itu juga semakin jelas dari dalam rumah. Seretan langkah itu makin lama makin jelas, dan sejurus kemudian, bau rokok lintingan menyengat, makin lama aku semakin terdegup jantungku. Kemudian terlihat sorot sinar lampu senter digerakkan ke sana kemari.

Alhamdulillah...”, ternyata Pak Sahid, penjaga rumah ini yang lagi mencariku. Plong rasanya, pikiran – pikiranku tentang keseraman rumah ini agak mulai mereda.

Mas gak apa – apa kan?”, tanya Pak Sahid.

Gak apa – apa pak, santai saja”, sahutku.

Kirain kenapa Mas, kok gak ada suaranya sama sekali, kalau ada apa – apa Mas teriak saja, kalau memang mas takut, mas cukupkan saja malam ini”

Iya pak, gak kok, saya terus aja di sini, mungkin tidur sini saja kalo ngantuk nanti, bapak kembali saja, kasihan yang mau ngopi di warung”

Ya sudah kalau begitu mas, jangan dipaksain ya, saya lupa ngasih tahu mas, sekarang malam jumat manis, jadi mas jangan kaget, pasti banyak suara aneh”, sahut Pak Sahid sambil berlalu kembali ke warung kopinya di depan.

Iya pak, aku tahu kok, makasih ya pak”.

Perlahan setelah itu, aku pegang gagang pintu belakang, pelan aku dorong sembari aku cari asal suara gemericik tadi yang masih saja terdengar. Pelan aku buka, sedetik, dua detik, tiga detik dan tiba – tiba …...

Sriiinnnggggg.... “, seperti ada energi dari belakangku, mendorong dengan cepat pintu yang aku buka pelan, semakin cepat terbuka lebar. Dan menghempaskan tubuhku ke dalam rumah tua ini. Bulu tengkukku mulai berdiri tegang, suara gemericik air itu semakin jelas, seperti berasal dari wadah tua, tempat dokter mencuci alat – alat prakteknya. Yah, boleh dibilang “wastafel tua”, sederhana saja, hanya wadah dan bertengger pipa di atasnya.

Nanar kulihat, beberapa cairan dalam botol, berwarna – warni tersimpan rapi dalam almari kaca, seperti gula-gula yang dijual di seberang SD rumah tua ini. Di sana – sini terlihat juga jarum suntik terbungkus rapi, berdebu, hitam dan berjelaga. Sekelebat bayangan hitam keluar dari kamar utama, kamar tempat dokter biasa memeriksa dan mengoperasi pasiennya.

Aku datangi wadah berpipa itu, yang aku kira kedatangan suara gemericik air tadi. Dan ternyata, kosong, kering. Ujung pipa juga tak ada, rapuh termakan usia. Aku berdiri mematung di tempat itu, sambil melihat wajahku sendiri, di dalam cermin yang berdebu.

Sejurus kemudian, seperti ada bayangan lain di belakangku, seseorang hitam tersenyum kepadaku. Kupejamkan mata sebentar, berharap bayangan itu hilang. Semenit, dua menit aku buka kembali mataku, dan bayangan itu masih ada di tempat yang sama.

Makin lama aku beranikan diri melihat, bayangan hitam itu semakin jelas, duduk di belakangku, kursi kayu tua. Dengan pakaian abu – abu, bertopi bundar.

Ups, aku mulai tersadar kalau bayangan tersebut adalah sang dokter. Tersenyum ramah dia kepadaku, seperti tak menyeramkan. Tapi aku, dengan suasana seperti ini, tetap merasakan kekerdilan nyaliku. Seram tak berujung, gemetar seluruh badanku, namun tetap aku tatap bayangan itu dalam cermin.

Tersenyum simpul ke arahku, sambil menunjuk ke dalam kamar pasien. Aku pejamkan mata sekali lagi, ingin aku dengar melalui hati, apa yang akan dikatakan sang dokter. 5 menit berlalu, aku tak mendengar dia mengatakan apapun, bisu saja.

Derap langkah kaki kuda mulai terdengar, memutar – mutar di sekeliling rumah. Dibarengi lonceng – lonceng kereta kuda itu, aku terkesiap dalam suasana ini. Berkali – kali suara gedebuk terdengar di belakang rumah, dan berkali – kali pula suara pintu belakang di buka, serta derap langkah kaki prajurit seperti terburu – buru melangkah.

Sayup kudengar erangan – erangan dari dalam kamar tua tersebut. Dari dalam hati, aku dengar dokter berkata,
Masuklah, kami tidak akan menakutimu di sini, kami ingin menunjukkan padamu, apa yang terjadi bertahun – tahun lalu di sini. Agar kamu bisa berkata pada dunia, sebegitu hebatnya perjuangan bangsamu, dengan saksi bisu rumah ini, untuk bekal sejarah generasi penerus bangsamu.”

Pelan – pelan aku buka mataku, mata yang masih takut melihat apapun dalam rumah ini. Kembali aku lihat cermin, di situ masih terlukis jelas, wajahku dan wajah senyum sang dokter. Kali ini dia menunjuk hebat ke dalam kamar pasien. Menyuruhku untuk segera masuk.

Sambil berjalan pelan dan berusaha tanpa suara, aku lirik arlojiku, dengan lampu arloji, aku masih bisa melihat, jam masih menunjukkan pukul 01.49 dini hari. Sampai di depan pintu kamar, aku buka pintu dengan pelan.

Sreettt... sreettt …..”, bunyi pintu tua ini ketika kubuka.

Tak terlalu jelas, kulihat ranjang pasien, tanpa alas, hanya ubin sederhana, setinggi pinggang orang dewasa. Di depannya meja dan kursi kayu dua buah, terlihat kalau sudah tua termakan usia. Di samping kursi sebelah jendela, terdapat meja berukuran kecil, tempat dokter menaruh alat – alat medisnya. Jarum suntik, botol – botol cairan, beberapa kapsul dan tablet terlihat berserakan di situ.

Kudengar erangan tanpa wajah, dalam kamar ini.

Arrggghhh... Arrghhh”, seperti menusuk dalam telingaku. Aku buka lebar mataku, aku cari sumber suara. Gemericik air dari luar kamar mulai terdengar lagi. Sayup – sayup langkah kereta kuda itu masih mengitari rumah ini, tak bisa aku lihat keluar rumah melalui jendela ini, karena jendela ini terbuat dari kayu tertutup. Sepertinya di design agar tak terlihat oleh siapapun aktifitas di dalam rumah ini, khususnya kamar ini.

Dan tiba – tiba, meja tempat jarum suntik itu bergetar, dan bayangan dokter seperti berdiri di situ. Terdengar jarum suntik menghisap cairan dalam botol itu. Aku merasakan aroma darah segar di dalam kamar ini, aku tutup hidungku sebentar, tapi aroma itu masih menyengat.

Aku tatap sekali lagi bayangan itu, hilang tak berbekas. Sunyi saja akhirnya dalam kamar ini. Dan kemudian aku beranikan diri duduk di ranjang pasien itu. Merebahkan diri sambil menata kembali nyaliku. Kupejamkan mataku, aku masih merasakan ada beberapa orang di kamar ini. Aroma darah segar itu masih tercium hidungku.

Aku lipat jaketku hingga cocok untuk dijadikan bantal. Aku telentang di ranjang ini, aku tutupi wajahku dengan sarung yang aku bawa. Aku pejamkan lagi kedua mataku, aroma itu semakin menyengat, derap langkah kaki tentara mulai terdengar lagi, masuk ke dalam kamar ini.

Sayup – sayup terdengar, “dokter tolong pasien ini, dia tertembak di daerah utara, masih belia”

Rebahkan saja di tempat biasanya, segera aku bersihkan luka tembaknya”

Ah, begidik aku mendengar itu, dan tiba – tiba terasa kakiku menyentuh sesuatu, seperti kaki seseorang, namun aku tak berani membuka mataku. Aku pejam rapat – rapat mataku, terdengar sang dokter mulai bekerja. Dia basuh sesuatu, mungkin luka pejuang kecil itu, bersama erangan – erangan hebat di sebelah telingaku.

Cepat saja rasanya dokter bekerja, tapi erangan – erangan itu tak mau berhenti di telingaku. Kali ini nyaliku mulai rapuh, aku berpikir mungkin dia ada di sebelahku, pasien itu. Aku takut, aku bayangkan wajah kecilnya, menyeramkan pastinya.

Tiba – tiba tubuhku kaku, tak bisa digerakkan, mataku juga kupaksa tak mau membuka. Kali ini hanya suara – suara saja yang bisa kudengar.

Seretan – seretan langkah, suara -suara pintu terbuka tertutup, terngiang di telingaku. Keras dan menghantam jatuh, dan membuatku yang kaku dalam lentangan meja, berdiri dan berdiri dengan lemas. Aku lihat samar – samar, beberapa orang dalam kamar ini. Ada yang teronggok mati di sudut kamar, ada yang mengejang di meja pasien, ada yang memegangi tangan kaku sesosok mayat kecil. Sambil menutup mayat itu, sesosok laki – laki separuh baya itu merapal doa untuknya, semoga arwahnya tenang dan perjuangannya dihargai oleh bangsanya, bangsaku dan bangsa kita.

Dan tiba – tiba, terasa ada yang mendorongku ke sudut ruangan. Terdorong aku di sudut, tak bisa bergerak. Aroma anyir mengitariku, aroma darah pekat menusuk hidungku. Di sekitarku mulai riuh, redu redam suara erangan – erangan itu.

Tiba – tiba bayangan hitam terlihat di depanku, menyekat leher dan kakiku hingga aku tak bisa bergerak bebas.

Hey kamu, mau apa kamu di sini dan beraninya kamu datang kesini?”, samar suara itu berkata sambil tetap mencengkeram bahuku.

aku tak bermaksud apapun, tolong lepaskan aku”, sahutku.

Sampaikan pada dunia, hargai perjuangan kami, tempatkan kami dengan layak, dan kami akan tetap dengan dunia kami, ingat itu, SAMPAIKAN!!!”, dengan ketus suara itu berkata.

Aku diam, dan cengkeraman itu pun lepas dari bahuku, dari dadaku. Aku masih mendengar erangan – erangan menyayat hati. Ditambah gonggongan – gonggongan tak jelas menambah pilunya malam ini.

Sejurus kemudian, sang dokter memanggilku duduk di depan meja kerjanya. Entah kenapa aku menurut saja, dan anehnya, begitu duduk di kursi, tak terjadi apa – apa terhadap kursi tua itu. Sepertinya kuat saja menahan berat tubuhku. Kursi dan meja itu sudah tak terlihat tua lagi.

Dengan senyum khasnya, dokter itu berkata, “Sampaikan pada dunia, gali kubur – kubur para pejuang yang dikubur tak layak di rumah ini, tempatkan mereka dengan layak. Jangan ubah bentuk rumah ini, biar menjadi saksi bisu perjuangan kami.”

Akupun mengangguk tanda mengerti. Tak lama kemudian, terdengar seret langkah berat dari luar kamar, semakin lama semakin berat dibarengi erangan dari seorang tua yang menyayat hati. Erangan itu begitu memekakkan telingaku, sampai aku tak dapat berpikir dengan jernih.

Dan pintupun kemudian terbuka, dan terlihatlah seorang tua yang dibopong oleh beberapa prajurit. Terlihat berlumuran darah dari sekujur tubuhnya. Bambu runcing masih lekat di punggung – punggung mereka. Darah segar mengucur dari sekitar dada lelaki tua itu.

Lelaki itu terus saja dibopong menuju ranjang pasien, entah apa bisa terselamatkan atau tidak. Aku lihat luka tembak begitu serius, lelaki itu terpejam sambil tetap mengerang. Pandangan semua orang tertuju pada lelaki itu.

Lamat – lamat kudengar dokter mengatakan bahwa lelaki ini butuh darah. Tangannya harus diamputasi, beberapa kulitnya harus dioperasi mendadak dengan syarat ada pengganti kulit di ruangan ini yang mau disumbangkan untuk dia.

Tiba – tiba saja, salah seorang dari mereka menunjukku.

Hey, berkorbanlah demi bangsamu. Selamatkan laki – laki ini yang telah menyelamatkan hidupmu, kemerdekaan kita yang kita raih. Tukarkan nyawamu dengan nyawanya, cepat..!!!”

Tidak, dunia kita berbeda, aku menolak bukan karena aku tak nasionalis, aku dan kalian berbeda” sahutku bergetar.

Tiba – tiba mereka semua memaksaku, memegangi seluruh tubuhku, membopongku ke arah meja pasien, dan persis mengikatku di sebelah lelaki tua itu. Aku tercekat, aku meronta dan tiba -tiba beberapa menit kemudian, aku merasa dokter menyuntikkan sesuatu kepadaku.

Gelap dan mencekam kurasa. Aku tak sadarkan diri beberapa saat, yang ada di pikiranku saat ini, aku seperti takkan kembali lagi. Aku sudah akan tinggal di rumah ini, selamanya. Aku tak bisa melawan mereka. Aku dalam sunyi mencekam telah menciptakan garis hidupku untuk menjadi pengganti lelaki tua itu.

Dan tiba – tiba seseorang membangunkanku.

Mas, sudah pagi … “

Aku terkaget dan membelalak mata mencari asal suara. Aku terbangun dan tersadar ternyata aku hanya mimpi, dan bermimpi saat tidur di kamar dokter, semalam. Dan aku dibangunkan oleh Pak Sahid, penjaga rumah. Berkali - kali aku ucap syukur, aku telah kembali.

Mimpi apa mas semalam ?” sambil memberi aku sebotol minuman.

Banyak pak, kita keluar saja, aku ceritakan di luar”, sahutku singkat.

Aku langsung berjalan keluar rumah sambil merapikan diri, bersama Pak Sahid di belakangku. Kemudian setelah menutup pintu, Pak Sahid langsung duduk di bangku depan rumah tua ini, ingin mendengar ceritaku.

Aku ceritakan panjang lebar apa yang terjadi malam tadi. Tidak ada yang terlewat termasuk pesan sang dokter untuk kita. Manggut – manggut Pak Sahid mendengarnya.

Ternyata hanya itu mas kemauan pak dokter, ya untung saja itu disampaikan lewat mas” kata Pak Sahid singkat.

Tak lama aku pamit pulang, aku gamit sarungku, aku pakai kembali jaketku sambil bergegas ke arah motorku, saat aku merogoh sakuku mencari kunci, tanganku menyentuh sesuatu. Aku keluarkan dari saku, sambil kunci motor juga aku masukkan ke rumahnya untuk menghidupkan mesin. Ketika aku lihat, ternyata sebuah buku, buku harian sang dokter. Ternyata dokter menghadiahiku buku saku ini, kepadaku.

Aku masukkan kembali buku itu ke sakuku, aku pacu motorku dengna pelan, sambil berniat, jika pesan – pesan dokter ini sudah dilaksanakan, dan museum ini akan resmi dibuka, buku saku ini akan aku berikan kepada pemerintah kota selaku pengelola museum, yang tentunya aku kopi dulu sebagai kenang – kenanganku semalam di rumah tua ini.


Probolinggo, 31 Mei 2013, @yudigopels (ditulis dalam rangka "Kompetisi Menulis #ceritahororkota)

Share:

0 komentar