Jika kamu sudah bisa, melupakanku
Dalam bising, bengis serta kata2 yang tak henti
Antara kabar, sumpah serapah, serta kata2 perdu
Di antara hening mataku
Jika kamu sudah bisa melepaskanku
Aku masih ingat di punggung tanganku
Jejak kata2 yang telah kupindahkan ke garis tanganmu
Antara masa lalu, saat ini serta masa depanku
Jika kau sudah mematikan harapanku,
Kubiarkan mataku, matamu yang indah
Menatap air kali yang terkadang muncul
Di jalan setapak pipiku
Jika hujan datang silih berganti
Serta malam yang hanya sebentar terburu pergi
Aku ingat masa kecilku yang tlah kukenang
Dalam beranda tua serta onggokan kata2 yang tersedak
Dalam air mata
Jika gambarku di ujung kamarmu
Telah berganti dengan hening ataupun
Gambar2 lain yang terhitung baru
Aku masih bisa melihat punggungmu yang sempat
Mampir dalam dekapanku antara
Malam yang sepi hingga hampir subuh merenda pagi
Jika tahun2 segera berganti dan
Hari yang terburu menutup diri
Aku sedang menunggu kereta
Untuk segera memberi salam
Antara kematian dan kehidupan
Yang hampir pagi
Dan jika malam telah musnah tapi
Gempita masih ada di antara
Perdu, batu serta untaian sajak
Antara kamu, penghuni rumahmu, serta kumpulan2
Bengis di antara raden mas sumantri maupun
Putri bianglala
Jiwaku masih hadir laksana Tuhan yang selalu ada
Doaku masih kulipat karena aku masih menyelesaikan tawaku
Karena keyakinan adalah milikku yang dari dulu
Tak membutuhkan sorak sorai laiknya tempik suara
Yang menggema di pelataran agung
Karena aku, adalah seorang raja yang memerintah
Pikiranku sendiri
Karena aku selalu berbeda dengan kamu
Yang selalu menunggu, selalu mendengar
Buaian kata2 demi pengakuan kata2
Probolinggo, 2017
Kuserahkan diriku kepadamu, kamar peraduanku
Seperti jendela yang rela menyerahkan dirinya
Aku tak sanggup mereka-reka
Seperti kibar bendera dalam kapal nelayan
Luka, dan punah
Teronggok di ujung jeruji keabadian
Aku bukan binatang jalang
Yang selalu melanglang tanpa bersandar
Akulah harimau tanpa singgasana
Sebab rapuh gigi putih serta
Tubuh yang mulai mengejam tak fana
jiwaku melayang melewati ujung
Langit plafon yang juga mulai keruh
Luka, dan tanpa sadar
Kubawa berlari
Kuserahkan diriku lagi
--KepadaMu
Seumpama tubuhku, calang tak berhulubalang
Dia akan selalu berusaha menahan kerapuhan
Dari mentari, hujan serta mata angin yang menderu
--tapi ia mendengarmu
Seumpama butir-butir air hujan telah hilang
Ia takkan kugantikan dengan tetesan embun
Yang lirih dan mengalir di sungai hatiku
Seumpama ada jalan setapak, yang tak mau kaulewati
Aku akan lipat dan kusimpan jalan itu
Untuk kutunjukkan nanti,
Ketika aku berada di singgasana Tuhan
Seumpama hati kau telah mati,
Aku berdoa, semoga dia hidup lagi
Asal jangan ketika tanah tlah mencengkeram
Dari segala penjuru
15 Agustus 2017
Ini tubuhku, selalu setia menemani hingga
Di tahunku yang ketigapuluh lebih sedikit
Tubuh yang akrab denganku entah
Milik siapa
Katanya milik Tuhan, tapi aku hanya mengenal namanya
Di dalam masjid, kitab suci dan obrolan2 para pencuri
Katanya milik Dzat yang besar, lebih besar dari segala yang besar di dunia
Tapi aku belum mengenalnya
Yang aku tahu,
Jiwa ini tandu, tubuh ini semu
Yang suatu saat akan diminta kembali
Yang suatu saat akan sepi
--semua hanyalah waktu
Ini tubuhku, dan hanya aku
Yang sanggup gugup bersamanya
Yang siap menghantar pedih
Dan bau harum kesturi
Ini tubuhku, yang di tepian embun
Akan jatuh ke tanah dan mati
Tapi ia selalu mengakui sebagai aku
Tapi ia mau menjadi satu denganku
Hingga diminta kembali oleh pemilikNya
--katanya
Dalam pikiranku
Aku memiliki sajak yang dekat serta kau yang sesat
Atau,
Sajak yang sesat serta kau yang dekat
Dalam pikiranku
Bertebaran kata-kata yang mengaku
Atau,
Pengakuan terhadap kata-kata
Dalam pikiranku,
Apakah kau tersesat akan kata-kataku
Atau
Kata-kataku tersesat karena kau
Dalam pikiranku,
Kata-kata itu sedang kurangkul dan kau
Sedang lepas bertebaran di pojok-pojok lumbung kebimbangan
Dalam pikiranku,
Kau sedang asyik bersorak dalam ragam
Pesta tujuh belasan
Atau,
Aku sedang menahan sakit perut karena kata-kata
Yang tersesat di benakku
Dalam benakku,
Kau berasyik masyuk mengira2 cerita hidupmu
Dan aku berasyik masyuk membangun istana setengah lantai yang landai
Dalam pikiranku,
Kau tersesat pikiranmu dan kata-katamu
Atau
Aku tersedak kata-katamu yang mulai tergugur
Dari tubuhku dan tubuhmu
Entah
Kalau tak ada angin, kemanakah
Harus kucari desah nafasmu yang
Kemarin sempat mampir di telingaku
Kalau tak ada bising, kepada
Siapakah harus kutanya hening yang
Membuatku rindu akan pelukanmu
Kalau tak ada daun, mungkinkah
Embun akan selalu tetiba jatuh
Menghunjam tanah basah
::tetapi takkan pernah mati
Kalau tak ada kita,
Mungkinkah masih kita tulis
Aku dan kamu yang terlarut senja
Kau tahu,
Mencintai adalah tentang ekspektasi
Sedang hakikat kerinduan adalah sebuah seni
Yang mengejawantahkan ekpsektasi cinta yang positif
Kalian tahu,
Mencintai adalah tentang pertemuan
Mencintai adalah tentang perpisahan
Sedang pertemuan itu selalu singkat
Tetapi, perpisahan adalah abadi
Dan keabadian itu akan selalu hadir
Ketika pertemuan itu diinginkan
Karena pertemuan itulah, perpisahan selalu abadi
::dan karena ekpektasi itulah, kisah cinta itu selalu menarik laiknya sebuah seni
YK-PB, 26 April 2017
Buatkan kami madu,
Yang dapat kami makan setiap pagi buta
Yang aromanya membuat lenguh
Sejuta impian dan harapan serta keinginan
Kami yang panjang
Berikan kami bunga,
Yang putiknya dapat segera kami sesap
Yang tangkainya dapat kami cengkeram
Dengan kuat dan tak mungkin lepas
Dalam tidur kami yang nikmat
::karena kata sekawanan lebah, saudara adalah yang bisa menyediakan seluruh frasa dan berbaris2 sajak
--tentang keinginan mereka
Kubuat puisi saja,
Yang tertulis tentang aroma kesturi
Serta doa panjang dan hakiki
--untukku saja
Kubuat huruf-huruf tanpa jeda
Yang mendaraskan panjang sebuah peleburan hakiki
Tentang Aku bersama aku yang sempurna
--bukan tentang mereka yang selalu berhasrat untuk keinginannya
;sendiri
::karena pula, sekawanan lebah itu bukan saudaraku dalam sesaknya perdu
;mereka penikmat kopi yang diseduh madu
Perjalanan, 25 April 2017
Kemarin, Raden Mas terantuk batu,
Kemarinnya lagi, Mbak Yu tak mampu bersuara
Hari ini mereka berdua bilang padaku,
"Kemana kamu kemarin saat pagi menjunjung untaian padi?"
Peluklah diriku saudaraku; katanya
Seperti embun yang selalu datang di pagi hari
Ia walau jatuh ke tanah, takkan mati
Karena pagi adalah tempat ia tak bermetafora
"Maafkan aku Raden Mas dan Mbak Yu ku";
Tunggu hari menjelang siang, aku pasti ada untukmu
Hari ini mereka bergembira, karena hujan yang mereka tunggu, angin yang mereka damba telah langsai dalam genggamannya
Hari ini mereka gempita,
Karena jelaga dan nanarnya bunga perdu telah mereka singkirkan bersamaku
;oh.. maaf bukan bersamaku
::karena seperti yang sudah,
Apatah arti seorang ikan nemo di teluk
Apakah arti gonggongan anjing
Di hutan yang beranjak pergi
Hari ini kukatakan padamu, pada kalian
Raden Mas Sumir dan Mbak Yu ku Ambigu
Cukup bahagia perahunya telah menderu
Cukup gempita layarnya tlah berkembang
Dan aku mengembun, menempel di kaca cermin usang
Menunggu Raden Mas Sumir dan Mbak Yu Ambiguku
Mengelap dan menghembus cermin di kakinya
::saat ia bilang, "aku perlu cerminmu"
Perjalanan, 24 April 2017
di salah satu sisi kamar
aku memelukmu dan melepasmu
seperti tangan yang tak mungkin lepas
seperti mata yang tak bisa berkedip
di salah satu sisi kamar
nafas kita berhenti jantung kita
berdetak
namun, rasa kita tak bisa lepas
di salah satu sisi kamar
hujan di luar tak berhenti
dingin menusuk hingga gigil
::tapi kita tak mungkin terlepas
di salah satu sisi kamar
senyummu terpagut, senyumku terkesiap
hingga daratan panjang di sepasang
bibirmu dan bibirku yang menginginkan
sebuah rasa yang telah membuncah riuh
di salah satu sisi kamar
akankah ini kita ulangi lagi?
Sebagai cinta yang tak mungkin
berhenti?
Yogyakarta, 25 Januari 2017