Untukmu, yang selalu
menjadi kenangan dalam jiwaku, selamanya (mungkin); atau paling tidak
hingga saat ini.
Bagaimana kabarmu?
Bagaimana keadaanmu? Bahagiakah engkau saat aku sudah tak berada di
sisimu lagi (dan lagi)? Semoga kamu bahagia, dan selalu bahagia.
Seperti aku yang selalu mencoba membahagiakan diriku.
Maafkan aku tak
bisa menahan untuk kembali menulis surat kepadamu, walaupun aku tahu
kau telah menciptakan diriku menjadi sebuah kenangan (mungkin) di
hatimu.
Tahukah kamu bahagia itu,
Dwita? Seandainya engkau tahu, mungkin suratku ini bisa menambah
khasanah perbendaharaanmu tentang bahagia. Pun, seandainya engkau
belum tahu, semoga ini juga bisa menambah kebahagianku bahwa ternyata
aku dan kamu tak bisa memahami arti bahagia.
Sayangku (untuk kesekian
kalinya aku tak bisa untuk tak memanggilmu dengan kata ini), bahagia
adalah ketika aku dan kamu telah menjadi “kita” yang sama dalam
naluri dan sama dalam perasaan. Bahagia adalah ketika engkau ada
dalam pusaran rasa yang tak sanggup aku menahannya dan ketika aku kau
jadikan hal yang penting daripada hal yang manfaat dan menjadikan aku
hal manfaat daripada hal yang penting, dalam hidupmu.
Pun, bahagia itu adalah
ketika benang merah penyebab cinta sudah terajut indah berbentuk
kenangan dan kita tak perlu waktu panjang untuk mengingatnya.
Aku tak pernah tahu, apa
yang membuatmu bahagia saat kita yang sekarang menjadi kita yang
dulu? Sebenarnya aku ingin tahu, tapi laksana mencari jarum di
tumpukan jerami, saat ini tak mungkin aku akan tahu.
Kau tahu apa yang
membuatku bahagia saat kita yang sekarang menjadi kita yang dulu?
Bahagia bagiku adalah ketika kau menjatuhkan dirimu dalam pelukanku,
dan kau biarkan aku mencium keningmu dan kau biarkan aku kembali
mencium pipimu dan kau biarkan aku kembali dan kembali lagi. Bahagia
bagiku adalah saat engkau terpenjara oleh simpul kata-kata yang
mereka buat dan aku merapikan simpul itu dengan sekuat tenaga yang
aku punya. Bahagia bagiku, adalah ketika kamu dan aku telah
memproklamirkan diri menjadi kita yang tak pernah mempedulikan
mereka-mereka yang merenjana dalam tebakan-tebakan tak logis sebab
netra kita dan netra mereka tak pernah sama.
Bahagia bagiku adalah aku
dan kamu menjadi kita (yang dulu).
Astaga, suratku terlalu
panjang ya Dwita? Sekali lagi mohon maaf, mungkin di penghujung surat
ini, sudilah engkau membaca sajak yang tak panjang (bagiku) yang
kutulis untukmu.
Engkaulah bahagia-ku
Saat jingga sudah
mulai merona merah muda
Saat ufuk telah
mencapai penghujungnya
Engkaulah tangan
nirwana
Yang di kegelapan
malam memelukku
Menyelamatkanku dari
kematian rasa yang mulai
Berdiri di tengah
bentangan hitam masa lalu
Engkaulah waktu
Yang membawa
kesempurnaan hakiki
Tentang cinta yang Dia
beri dan
Tentang hati yang
mulai tegak berdiri
;Di atas tanah
keyakinan
Engkaulah Bahasa
Yang tak mudah
kumengerti tapi
Aku mencoba untuk
memahami
::Sebab rasa adalah
anugerah
;Dan sebab asa adalah
sebuah pintu kebahagiaan
Karena aku dan kamu
adalah kita yang tak pernah terencana
Di suatu tempat
dalam hatiku dan di tahun yang sama kepergianmu
Wrote by Unknown