Jogja, April 2011
“Pulanglah, Ibu
menunggumu, jangan kau ulangi lagi penyesalan itu, seperti Bapak yang
tak kau temui!” sederet sms dari kakakku, pagi itu di kamar kosku.
Berdegup jantungku,
pagi jogja yang biasanya kunikmati dengan syahdu, kali ini kulalui
dengan kebimbangan.
Beranjak dari
ranjang sempitku, langsung aku menatap cermin, seperti ada diriku
yang lain di sana. Seperti akan memberi saran pada jiwaku yang
terlingkungi semu.
Jiwaku melayang ke
masa sepuluh tahun lalu
Probolinggo,
Pebruari 2001
“Mau jadi apa kau
Nda? Tiap hari pulang pagi, musik tak akan menghidupimu, sudah tak
mau kuliah, luntang luntung tiap hari!!” suara bapak pagi
ini memekakkan telingaku, Huh!!!
“Aku tak akan jadi
seperti bapak, pegawai, karena aku adalah aku!!!” kataku tak mau
kalah.
“Apa katamu?aku
ini juga musisi, dan akhirnya jadi pegawai karena musik tak dapat
menghidupiku,akhirnya kau makan dari gaji pegawai juga!!!” sahut
bapakku
“Ah, sudahlah, aku
tak mau berdebat sama bapak...”
“aku bosan dengan
kelakuanmu, kalau kamu tak bisa mengikuti aturan di rumah ini,keluar
sana ikuti aturanmu sendiri,tunjukkan pada bapak kalau kamu benar!”
ujar bapak sambil berlalu
tercekat
kerongkonganku mendengarnya. Berkecamuk dalam dadaku, apakah aku
harus keluar dari rumah ini mengejar mimpi? Ah, kepalaku pusing tak
keruan, efek mengantuk dan pagi-pagi dapat ceramahan tak
jelas.
Probolinggo,
Agustus 2001
“Aku sudah bulat”
tekadku dalam hati. Setelah kuletakkan surat di atas meja televisi,
pagi-pagi benar saat orang masih terlelap, kupanggul tasku, dengan
uang secukupnya hasil mengamenku dari kafe-kafe aku berangkat jogja
menumpang kereta paling pagi.
Di atas kereta, aku
ganti nomor handphoneku. Ya aku akan kembali di sini saat pembuktian
atas omongan bapak sudah aku laksanakan. Di atas kereta, setelah
kusimpan nomor-nomor penting termasuk nomor keluarga, kubuang nomorku
yang lama. Ya, sengaja aku menyimpannya, karena suatu saat aku pasti
kembali.
Aku tak tahu, yang
pasti aku berontak, marah terhadap bapak. Aku laki-laki, kenapa tak
membiarkanku memilih jalan hidupku sendiri. Ah, sudahlah, aku sudah
bertekad, tak perlu kuingat-ingat omongan bapak. Aku harus move
on. Dan aku yakin, pasti ibu yang paling terpukul dengan
keputusanku. Mengenai bapak dan kakak perempuanku, sudahlah. Yang
penting aku pasti kembali.
Jogja, Awal
Desember 2002
tahun ini aku masih
akan berlebaran di sini, aku takkan pulang. Aku merasa masih belum
membuktikan kepada bapak. Toh aku masih saja jadi penyanyi kafe
dengan gitar kesayanganku. Aku masih belum berhasil menembus dapur
rekaman.
Tapi aku tetap akan
menghubungi ibu, saat lebaran nanti.
Jogja, Malam
Takbir 2002
sepulang dari studio
temanku, sesampai di kamar kos, kucari nomor kakak di handphoneku.
Gemetar rasanya sekujur badanku. Aku masih bimbang, apakah aku harus
menelpon? Apakah keluargaku akan memarahiku? Apakah..... ah lebih
baik aku telpon aja sekarang.
“Siapa ini?”
“Saya Kak,
Nanda”
“Ah, akhirnya
kamu ingat juga, dimana kamu?”
“Sudahlah kak,
aku mau ngomong sama ibu”
Selang beberapa
saat, terdengar isak tangis, suara yang kukenal, suara ibu.
“Maafkan aku
ibu, aku harus ambil keputusan ini”
“Tapi dengan
tidak meninggalkan kami, keluargamu sayang..”
“Iya bu, maaf,
aku janji aku pasti pulang, tapi gak tahun ini, maafkan aku,sampaikan
kepada semua keluarga termasuk bapak..”
Isak tangis semakin
nyaring, aku bingung...
“Mana bapak
bu?”
Hanyalah isakan
tangis di ujung telepon yang kudapat.
“Mana bapak
bu... mana, tak maukah bapak ngomong sama aku”
“Kamu ngomong
sama Tuhan saja, bapakmu pasti tahu...” sambil terus terisak
“Maksudnya?”
akhirnya ganti
suara kakak perempuanku
“Bapak sudah
dipanggil Allah, Nda, pulanglah kamu...”
“Hah?”
segera kututup telepon, aku tak sanggup mendengarnya.
Tak kuat aku menahan
rasa, hanya bisa merapal doa, “Maafkan aku Ayah, atas sikapku,
Maafkan aku Ibu, aku janji segera pulang menjagamu”
Semoga dapat menjadi inspirasi (naskah ini ditulis dalam event "Maafkan aku Ayah, Maafkan aku Ibu" dan akhirnya lolos sebagai kontributor dalam grup Antologi Es Campur)