MENGIZINKAN TUBUH LAIN TUMBUH


Terengah pada jam 3 sore. Dalam hening luhur dan suara jangkrik yang merayap di dinding kamar. Sepasang tangannya hinggap di tubuhku, mengerang laiknya burung gagak yang berputar di awan. Hitam dan membentuk titik-titik air.
--Di mataku.

Kubiarkan mataku terpejam mendengarkan lirihan ricik air kali, tubuhnya. Menghunjam ujung-ujung ulu hati. Agar sempat menjadi akar tunjang yang mengambang dalam aroma mawar yang sudah setengah tinggi.

Kuizinkan air itu masuk dan berputar di seluruh pembuluh, hingga bermuara pada danau yang sempat mengering. Basah dan peluh bersama deras hujan sore itu, hingga tidak kudengar semenjak kapan tubuhnya tumbuh di pelataran, mencengkeram hingga tubuhku juga mulai tumbuh di antaranya.

Ia cantik dan sedikit pemarah. Senyumnya terkadang membawa luka, namun sesekali menggodaku dengan aroma teh manis di pucuk-pucuk senja. Ia juga mencintai pisau, tapi ia tak suka asap dapur. Baginya seluruhnya ingin ia lawan tapi separuh jiwanya menolak untuk melangkah.

Dalam tapak yang sudah tak jelas, tubuh itu masih tumbuh dan meluruh. Ia tetap ada tanpa berusaha meniadakan diri. Karena ricik kali tak pernah bisa berhenti.


Ia rahim yang menyembah ribuan burung, di antara awan senja yang sudah mulai merah. Karena sakit telah mampir bersama paruh-paruh gagak yang telah memutih.

Ia sudah terlanjur kuizinkan tumbuh bersama cincin yang berjatuhan.
Dalam panas yang sekarat, senyumku berbaring di perut telaga

--31 Maret 2019--

Tags:

Share:

0 komentar