SURAT KECIL DARINYA


Sambil berjalan menuntunku, lebih tepatnya aku menuntunnya untuk duduk di taman samping rumahnya, Ibu yang nyaris menjadi mertuaku itu tak henti-hentinya menyunggingkan senyum khasnya, tanda dia sangat bahagia atas kedatanganku.

Aku duduk di kursi tua ini, kursi yang biasa aku habiskan membunuh waktu bersamanya, Prabu. Bau cat ini seperti masih sama, bahkan kayunya seperti masih baru aku tinggalkan, walaupun tanda tua sudah melingkungi kursi ini. Setelah aku dipersilakan duduk, aku ditinggalkan ibu ke dalam untuk mengambil suguhan kecil. Aku tertegun, pikiranku melayang, ke empat belas tahun lalu.

****

“Kita bisa ketemu?” ujarmu di ujung telepon
“Bisa, di mana?” jawabku singkat agar keherananku padanya tak menjadi api emosi yang bergetar di dada.
“Tempat biasa, 15 menit lagi aku di sana”
“Oke...” segera kukemas buku-buku di depanku yang semenjak siang kubaca di sudut perpustakaan ini, tempat favoritku di kotaku.

Akhirnya aku sampai di taman kota, tempat kita biasa menghabiskan hari bersama, tempat pertama aku mengenalnya hingga mencintainya sampai sekarang. Kulihat ia menungguku, di bangku yang biasa aku dan dia menghabiskan waktu berdua. Segera kududuk di sebelahnya dengan sejuta pertanyaan yang menggelayut dalam dadaku. Awan hitam menggelayuti wajahnya, seperti menahan sesuatu yang dia simpan rapat-rapat tanpa mau membaginya padaku.

“Aku sudah memutuskan, mungkin lebih baik kita berpisah dan menjalani kehidupan kita sendiri-sendiri”, ujarmu dengan nada tercekat
“kok tiba-tiba Prab? Aku ingin tahu alasanmu? Dua minggu kamu susah aku hubungi, dan ternyata ini yang kudapat?”
“Kukira tak perlu kujelaskan Gin, kamu harus tahu, aku masih sayang kamu, tapi inilah keputusan yang harus kuambil”
“Tidak Prab, kau tak sesayang itu, aku tetap butuh penjelasan, karena aku bukan kambing congek!!”, Sahutku ketus menahan bulir-bulir bening yang sebentar lagi jatuh
“Cukup Gin, tak usah kita berdebat, aku pasti menjelaskannya jika saatnya tiba”, sahutmu sambil berlalu meninggalkanku.

Sambil berlari menuju parkiran, tak terasa bulir-bulir itu sudah tak kuasa kutahan. Segera kupacu motorku cepat agar segera sampai di kamarku, melepaskan sesak yang di dada. Sepanjang perjalanan sampai aku memarkirkan motorku di garasi rumah, aku tak kuasa menahan pedih yang menusuk-nusuk jantungku.

Segera aku rebahkan diri di kamar, sambil kulesakkan tas kesayanganku. Aku sedu sedan menangisinya, bukan karena aku menjadi benci. Tapi semata-mata sebab tanpa penjelasan dia memutuskan ini. Sambil menangis, aku menjadi tersadar, dia tak secinta itu sama diriku. Mungkin ini jalan yang diberikan Tuhan padaku, aku tak mungkin untuk meratapi keputusan cinta ini. Aku harus melanjutkan hidup.

****

Tak terasa semenjak kefokusanku pada karir, sudah 14 tahun aku tak bersua dengannya. Aku pun tak tahu angin apa yang membawaku ke rumah ini, yang kutahu, kenanganku terbangkit kembali dari tidurnya.

Sambil meletakkan nampan berisi minuman di meja taman, mantan calon ibu mertuaku berkata, “Gimana Gina kabarmu, tak terasa sudah lama sekali kamu tak pernah ke sini”.
“Alhamdulillah baik bu, aku sudah bekerja di perusahaan telekomunikasi semenjak lulus kuliah”
“Alhamdulillah Gina, Ibu sudah menunggumu 2 lebaran ini”, kemudian beliau memelukku dengan erat, seperti pelukan ibuku padaku, beberapa tahun lalu sebelum ibuku pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya. Tak terasa, bulir-bulir pelangi di mataku mulai terjatuh, menggenangi pipiku, seperti menggambarkan rasa kangenku pada ibuku sendiri. Karena memang, ibu ini sudah kuanggap ibuku sendiri, saking dekatnya aku dengan beliau.

Maafkan anakku Gina, maafkan Prabu yang telah meninggalkanmu, Ibu sudah tahu ceritanya”
Jauh sebelum hari ini, aku sudah memaafkannya bu”, sahutku datar
Kamu sudah menikah Gin?”, pertanyaan yang susah aku jawab. Jujur aku masih menunggu penjelasannya, hingga siapapun lelaki yang mendekatiku aku tepis dengan halus. Aku masih belum lega sebab penjelasan itu belum datang padaku.
Belum bu...”
Sekali lagi maafkan anakku Gina yang membuatmu menunggu. 2 tahun lalu ia menitipkan surat untuk disampaikan padamu jikalau memang kamu belum menikah”. Sambil mengeluarkan surat yang sepertinya sejak tadi disimpan di saku beliau.

Kuulurkan tangan untuk menerimanya, dan mengikuti sarannya untuk tak membukanya di sini, di rumah kenanganku.

Tak terasa sudah hampir dua jam aku di sini, dan aku segera berpamit undur diri. Setelah berpelukan, dia berbisik padaku, dia tak tahu isi surat itu, hanya saja dia berpesan, apapun itu dia mohon untuk mengunjunginya jikalau ada kesempatan. Aku menggangguk dan segera menuju mobilku.

Dalam perjalanan, aku tak sabar untuk membacanya, segera aku cari tempat untuk menepi. Perlahan aku buka surat itu, surat yang ditulis dengan tulisannya sendiri, dan aku walaupun sudah 14 tahun masih hafal dengan tulisan kasarnya. Dan juga karena saking lamanya, kertas itu terlihat lusuh.

Kubaca perlahan – lahan,

Gina,
mungkin kamu kaget sebab kelancanganku mengirim surat melalui ibu. Mungkin kamu juga benci atas kepengecutan diriku hingga tak mau menemuimu. Aku sadar dan aku terima apapun yang kamu katakan kemudian padaku, tapi cukup kamu tahu, aku masih mencintaimu.

Kutulis surat ini, sebagai janjiku padamu, yang akan menjelaskan sebab apa hingga dulu aku memutuskanmu, lebih tepatnya aku meminta pisah darimu.

Gin, masalahnya begitu kompleks, tapi akan aku buat singkat penjelasan ini. Singkatnya, dengan keterpurukan yang terjadi pada keluargaku, aku ditolong oleh keluarga teman almarhum papa. Dia sanggup membiayaku kuliah dengan syarat, aku mau menikahi anak perempuan bungsunya, yang saat itu butuh seseorang sandaran sebab sakit kangker otak yang tak kunjung sembuh, hingga ia mulai tak semangat untuk hidup. Teman papa itu tahu, kalau anaknya begitu mencintaiku.

Singkat kata, setelah aku menikahinya, aku meneruskan kuliahku dan hidup bersamanya, merawatnya. Dan akhirnya, dua tahun lalu, akhirnya ia tak kuasa melawan takdir, ia meninggalkanku dan keluarganya dalam wujud kematian, dan tanggungjawabku selesai sampai di situ.

Gina, aku sudah menceritakan apa adanya sesuai janjiku padamu. Aku hanya ingin agar kamu segera mengerti posisiku, dan aku pun tak memaksamu menerimaku kembali, karena tak semudah membalik telapak tangan bukan?

Tapi, jika itu bisa, katakan padaku dan aku akan menjemputmu dan melamarmu pada orang tuamu. Dan jika itu tak bisa, aku legowo menerimanya dan aku minta kita tetap menjadi saudara yang selalu akan saling bantu jika antara kita menemui kesulitan.

Sekali lagi Gina, mohon maaf simpuhku padamu, dan terima kasih atas kesudianmu membaca surat ini, kutunggu kabarmu selanjutnya.

Probolinggo, 10 Juli 2013

Setelah kulipat surat ini, dan kumasukkan ke dashboard mobilku, aku memacu pelan kendaraanku. Aku tak mungkin segera memutuskan karena seperti katanya, tak mudah membalik telapak tangan.

Dan mungkin aku menunggu waktu saja menjawabnya, itu saja cukup.
****

Share:

0 komentar