MENUNGGU ATAU MENINGGALKAN #SURATMANTAN7

Entahlah Dwita, kali ini aku tak mau memikirkan surat keberapa yang sudah kutulis dan kukirimkan padamu. Yang aku tahu, aku tak bisa berhenti untuk menulis untukmu. Kamu harus tahu, aku tak lagi menunggu. Tapi juga tak mungkin pergi meninggalkanmu. Aku tahu, harapan yang kudaraskan panjang kepadamu sudah tak mungkin lagi. Aku juga tahu, perjalanan masih panjang dan berkelok; tak mungkin rasanya aku menunggu. Tapi, meninggalkanmu juga adalah pilihan sulit. Sesulit aku mengucapkan cinta padamu dulu. Sesulit aku menciummu, serta sesulit aku merangkulmu.

Dwita, apakah kamu sedang menungguku? Ataukah kamu bersiap meninggalkanku? Aku tak melakukan keduanya, pun tak pernah tergambar dalam dinding-dinding jiwaku. Aku hanya melakukan apa yang kuyakini. Aku hanya menuliskan apa yang menurutku indah untuk kutulis dalam surat ini, dalam hati ini serta dalam perjalanan cerita cinta yang tak kutahu apakah langsai atau masih banyak episode-episode yang memuat klimaks serta kisah bait-bait panjang tentang kita.

Aku ingat, hubungan kita mulai melalui layar sentuh. Tiap malam kita tak mungkin meninggalkan layar digital itu. Memang, pintu hubungan kita mulai dengan kerdipan mataku, balasan senyummu dan renyahnya suaramu membalas sapaanku satu-satu.

Tapi, episode keindahan itu, tetap aku mengganggapnya kita mulai melalui layar sentuh. Kita tak jarang saling menunggu, dan kita sangat sering membuat sebuah status melalui layar sentuh kita masing-masing demi sebuah respon balik antara kita. Kita gemar untuk menekan tombol-tombol semu dan gemar mengirimkan icon sebagai tanda ada cinta antara kita. Apakah itu semua semu Dwita?

Tapi, perpisahan ini bukanlah hal yang semu yang sengaja kita buat. Perpisahan ini walaupun belum tentu abadi selama ajal belum menghampiri kita, tapi inilah kisah. Inilah cerita yang melewati antara kita. Inilah guratan-guratan senja di antara senja-senja yang dulu kita rasakan bersama. Inilah potret, di antara gambar-gambar yang dulu kita lukis bersama. Inilah koper, yang dulu kita angkat sama-sama dan kini kita tutup sendiri-sendiri dan kita simpan sendiri-sendiri.

Kamu tahu Dwita, menunggu adalah hal membosankan. Menunggu membuat kita berjelaga, dan menunggu pula membuat simpul-simpul tak beraturan yang terjadi pada pikiran kita, pada hati kita serta pada larik-larik sajak yang muncul di sanubari kita. Menunggu membuat kita nanar, dan netra kita menjadi lelah. Seperti ayah yang selalu bekerja saban hari, seperti punggawa yang selalu berkeliling keraton setiap malam, serta seperti jangkrik yang selalu menimbulkan suara hening di antara akar-akar pohon perdu. Kamu pasti lelah melihatnya, merasakannya atau bahkan mendengarnya. Bukankah engkau lebih suka tak menunggu jika sesuatu itu tak perlu ditunggu?

Menunggu membuatku kelam merapat, hingga aku tak bisa mendengar kabar penghujan dari awan lain. Penghujan yang terkadang mendekatiku tapi tak membasahiku. Penghujan yang mencoba membuatku terkejut dengan petir-petirnya yang menyambar-nyambar jiwaku. Penghujan yang membuat desah aroma tubuhku serta membuatku gigil saat panas menggantang, menunggumu.

Terkadang aku ingin membunuhmu, di kanvas yang sedari dulu kulukis denganmu. Tapi tahukah kamu, membunuhmu bukanlah hal yang mudah. Memang, semua orang mengatakan mudah membunuh kenangan, tapi tidak denganku. Banyak orang berkata padaku, cara-cara membunuh kekasih. Mudah saja, mungkin aku hanya membuat dari minyak lipan yang disalai (dipanggang), racun ular, racun dari kulit katak yang diambil minyaknya, ubur-ubur, getah pohon beracun,akar-akar kayu yang beracun. Kuramu sedemikian hingga dan kularutkan dalam pikiranku. Atau bisa saja pikiranku kuberi potas yang tak terhingga demi membunuhmu dengan cepat. Mudah saja! Tapi itu tak bisa kulakukan Dwita. Tak bisa!

Suatu saat aku sempat terjaga dari kursi. Kupandangi koran yang tadi tak sempat kubaca. Kulihat kopiku tinggal setengah, dan apa yang muncul di pikiranku saat itu? Hanya gulungan tentangmu yang tak mudah kutinggalkan. Hanya kelebatan gambarmu yang tak bisa kubunuh saat sepi bertamu ke rumahku. Engkau bagai racun yang sudah mendarah daging dalam tubuhku. Engkau bagi pohon yang akarnya melilit-lilit tubuhku dengan erat tanpa aku bisa melepasnya.

Jadi, haruskah aku menunggu atau meninggalkanmu?

Share:

0 komentar