Surat Untuk Mantan #2

Apa Kabar Sayangku? Ini adalah surat kedua dariku. Aku bersikeras mengirimimu surat ini, walau aku tahu engkau tak mungkin membalasnya seperti yang terjadi di surat pertama, kemarin. Aku tak tahu alasanmu, pun aku tak ingin tahu.

Aku hanya ingin melepas rindu yang selalu muncul saban hari, di dadaku. Entahlah, sulit rasanya menghapus memoar yang terjadi antara kita sebelum ini. Pun aku tak mampu untuk tak memanggilmu sayang, dan tak kuasa pula untuk tak merindukanmu. Engkau telah membuat rumah di dalam hatiku. Engkau tinggal di dalamnya dan tak pernah mau untuk pergi, walau kenyataannya engkau telah jauh meninggalkanku. Sangat ironis memang, ketika aku telah menancapkan sebuah rasa sayang yang sejak sebelum aku mengenalmu tak pernah rasa itu menghampiri hidupku. Atau mungkin memang sebuah episode tragis dalam hidupku, ketika aku sudah mulai mencintaimu, dan ketika itu pula engkau beranjak dari episode itu.

Dwitarani, kau tahu, kemarin sore aku bertemu sahabatmu, Ningsih. Baru kali itu aku bercakap dengannya lebih panjang tak seperti biasanya. Baru kali itu pula aku tahu nama lengkapnya, setelah aku baca di nametag seragam kerjanya. Ternyata namanya cukup bagus ya, Fitrianingsih. Singkat, padat dan terlihat kalau ia orang asli kota ini. Yah, walaupun tak seperti namamu,  yang panjang dan rimbun laksana bunga perdu.

Ia menceritakan padaku, ceritamu yang pernah luput dari pendengaranku. Atau mungkin kamu pernah cerita padaku tapi aku lupa. Maklumlah, kau tahu aku kan pelupa dan tak pernah kusengaja. Tetapi mencintaimu, adalah satu-satunya hal yang kusengaja. Dari bibir mungil temanmu itulah, aku juga baru tahu kalau engkau pernah dikhianati oleh laki-laki sebelum aku. Aku jadi berpikir, apakah sebab itu engkau meninggalkanku?

Tidak, Dwitarani. Tak pernah terbersit dalam benak kasarku untuk berkhianat padamu. Karena bagiku, pecundang adalah laki-laki yang menganggap biasa pengkhianatan cinta. Karena aku juga sangat benci dikhianati, dan sangat anti dengan yang namanya kebohongan. Walaupun engkau telah pergi jauh, sampai saat ini aku masih tak mampu untuk menghilangkan namamu dari labirin hatiku. Bagiku, kesetiaan adalah hal yang paling mewah. Walaupun aku tak mungkin bersamamu saat ini, tapi mencintaimu adalah hal yang sangat aku hargai.

Dwitarani, bagiku engkaulah hujan. Yang selalu meneteskan beberapa bulir indah pada tanah jiwaku. Yang selalu memberi kesejukan hingga gigil mulai melingkupi tubuhku. Yang selalu memberi aroma putik-putik salju, hingga membuat aku merenjana merdu akan hadirmu.

Di penghujung surat ini, aku ingin menyampaikan lagi, sebuah kata yang tak panjang. Menurutku kata inilah yang cocok kuberikan padamu, karena saat kita bersama aku tak pernah mengucapkan kata ini. Terima kasih sayangku, terima kasih engkau masih berkenan membaca surat ini. Terima kasih pernah menjadi perangkai kata di antara larik-larik sajakku. Terima kasih pernah mengisi lembar-lembar ceritaku hingga berbentuk sejarah panjang. Terima kasih telah menjadi hujan, saat tanahku kering kerontang tanpa cinta. Terima kasih telah melengkapiku, ketika lama kucari kelengkapan hidupku tak kunjung kutemukan. Terima kasih untuk mau menjadi yang aku cintai, dan terima kasih pula pernah menjadi yang kurindukan.

Dan akhirnya, terima kasih untuk cinta yang pernah kita pagut bersama, di antara lekat senja yang selalu merona jingga. Terima kasih sayangku, terima kasih obyek rinduku. Terima kasih.

Probolinggo, 17 April 2014

Share:

0 komentar