Surat Untuk Mantan #3

Untukmu, yang selalu menjadi kenangan dalam jiwaku, selamanya (mungkin); atau paling tidak hingga saat ini.

Bagaimana kabarmu? Bagaimana keadaanmu? Bahagiakah engkau saat aku sudah tak berada di sisimu lagi (dan lagi)? Semoga kamu bahagia, dan selalu bahagia. Seperti aku yang selalu mencoba membahagiakan diriku. 

Maafkan aku tak bisa menahan untuk kembali menulis surat kepadamu, walaupun aku tahu kau telah menciptakan diriku menjadi sebuah kenangan (mungkin) di hatimu.

Tahukah kamu bahagia itu, Dwita? Seandainya engkau tahu, mungkin suratku ini bisa menambah khasanah perbendaharaanmu tentang bahagia. Pun, seandainya engkau belum tahu, semoga ini juga bisa menambah kebahagianku bahwa ternyata aku dan kamu tak bisa memahami arti bahagia.

Sayangku (untuk kesekian kalinya aku tak bisa untuk tak memanggilmu dengan kata ini), bahagia adalah ketika aku dan kamu telah menjadi “kita” yang sama dalam naluri dan sama dalam perasaan. Bahagia adalah ketika engkau ada dalam pusaran rasa yang tak sanggup aku menahannya dan ketika aku kau jadikan hal yang penting daripada hal yang manfaat dan menjadikan aku hal manfaat daripada hal yang penting, dalam hidupmu.
Pun, bahagia itu adalah ketika benang merah penyebab cinta sudah terajut indah berbentuk kenangan dan kita tak perlu waktu panjang untuk mengingatnya.

Aku tak pernah tahu, apa yang membuatmu bahagia saat kita yang sekarang menjadi kita yang dulu? Sebenarnya aku ingin tahu, tapi laksana mencari jarum di tumpukan jerami, saat ini tak mungkin aku akan tahu.

Kau tahu apa yang membuatku bahagia saat kita yang sekarang menjadi kita yang dulu? Bahagia bagiku adalah ketika kau menjatuhkan dirimu dalam pelukanku, dan kau biarkan aku mencium keningmu dan kau biarkan aku kembali mencium pipimu dan kau biarkan aku kembali dan kembali lagi. Bahagia bagiku adalah saat engkau terpenjara oleh simpul kata-kata yang mereka buat dan aku merapikan simpul itu dengan sekuat tenaga yang aku punya. Bahagia bagiku, adalah ketika kamu dan aku telah memproklamirkan diri menjadi kita yang tak pernah mempedulikan mereka-mereka yang merenjana dalam tebakan-tebakan tak logis sebab netra kita dan netra mereka tak pernah sama.

Bahagia bagiku adalah aku dan kamu menjadi kita (yang dulu).

Astaga, suratku terlalu panjang ya Dwita? Sekali lagi mohon maaf, mungkin di penghujung surat ini, sudilah engkau membaca sajak yang tak panjang (bagiku) yang kutulis untukmu.

Engkaulah bahagia-ku
Saat jingga sudah mulai merona merah muda
Saat ufuk telah mencapai penghujungnya

Engkaulah tangan nirwana
Yang di kegelapan malam memelukku
Menyelamatkanku dari kematian rasa yang mulai
Berdiri di tengah bentangan hitam masa lalu

Engkaulah waktu
Yang membawa kesempurnaan hakiki
Tentang cinta yang Dia beri dan
Tentang hati yang mulai tegak berdiri
;Di atas tanah keyakinan

Engkaulah Bahasa
Yang tak mudah kumengerti tapi
Aku mencoba untuk memahami

::Sebab rasa adalah anugerah
;Dan sebab asa adalah sebuah pintu kebahagiaan

Karena aku dan kamu adalah kita yang tak pernah terencana


Di suatu tempat dalam hatiku dan di tahun yang sama kepergianmu

Share:

0 komentar