SURAT UNTUK MANTAN
Tulisan ini diikutsertakan untuk lomba #suratuntukruth novel Bernard Batubara
Selamat pagi, siang, sore
dan malam sayangku. Oh, maaf aku lupa bertanya padamu, apakah aku
masih boleh memanggilmu dengan sebutan itu, di setiap pergantian
waktu yang dulu selalu aku lakukan? Semoga saja engkau tak marah
membaca kata itu, kata yang memang tak pernah panjang kubisikkan
padamu. Kata yang memang hanya itu yang bisa kulakukan di saat aku
merenjana rindu kepadamu.
Dwita, aku sulit
menghilangkanmu dari memori otakku. Meski aku tahu, engkau telah
mengkhianatiku. Tapi, sulit rasanya seperti minyak yang ingin aku
satukan dengan air, untuk menyebutmu seorang pengkhianat. Apalagi
menyiarkan kepada dunia, bahwa aku mencintaimu dan engkau
meninggalkanku dengan beberapa tindakan khianat yang kau lakukan
padaku. Sulit!!
Dwitarani, melalui
tulisan ini, aku ingin kamu ingat bahwa perkenalan kita tak pernah
kita sengaja. Tapi, cintaku padamu sangat kusengaja. Walaupun
terkadang mampir di pikiranku, bahwa kamu tak secinta Juliet kepada
Romeo, tak seperti Ainun kepada Habibie. Tapi aku tetap mencintaimu
dengan selarik nafas serta segudang rasa yang tak pernah kau kira.
Bahwa aku mencintaimu, seperti piasan hujan di atap rumahku yang
datang setiap sore saat rona jingga menunjukkan dirinya. Bahwa aku
mencintaimu, laksana Rama kepada Shinta, yang pernah diliputi
keraguan dan pernah bergejolak akan cemburu yang semburat di seantero
dada. Bahwa aku mencintaimu tanpa titik yang kuberikan setelah kata
cinta yang kuberikan padamu.
Dwitarani, aku tak
menyangka sebegitu hebatnya dirimu melakukan ini padaku. Cinta yang
kutanam dengan tulus dan rindu yang kuhadirkan dalam jiwa kosongku
dengan hebat, kau balas dengan hal yang tak mudah aku pikirkan dengan
logika. Aku yang selalu kau tahu bekerja dengan larutan logika di
seluruh jiwaku, tak dapat menerima dengan logis akan hal hatimu yang
tiba-tiba membuncah tak jelas. Kau tukar pengorbananku dengan jelaga
kosong di seluruh nafasmu.
Terima kasih kutuliskan
ini kepadamu. Terima kasih telah mengisi hari-hariku, kemarin. Terima
kasih bahwasanya aku pernah kau pilih dengan tangan kirimu. Semoga
engkau dapat yang kau cari selama ini yang tak pernah engkau dapat
dari aku yang hanyalah lelaki biasa dengan cinta yang luar biasa.
Benar kau meninggalkanku, dan aku segera beranjak pergi dari cerita
hidupmu. Aku pastikan, cerita kita telah kutorehkan pada sejarah yang
tak panjang. Pada batu-batu nisan yang tak pernah dilihat orang.
Melalui tulisan ini, aku
pastikan padamu. Ini adalah tulisan terakhir tentangmu. Akhir dari
sajak dan bait yang kutuliskan untukmu. Berikutnya aku harus katakan
padamu, aku akan menulis sajak tentang perempuan lain yang pastinya
akan mengerti cintaku yang selalu sederhana.
Dwitarani, Terima kasih
telah menjadi bagian dari larik-larik sajakku kemarin.
Tags:
Cerpen
0 komentar