CUKUP


Ah, sudah sewindu setiap malam aku menunggumu. Sudah sewindu pula kupandangi kening serta dagu datarmu lewat kaca jendela kamarku. Sementara kamu seolah-olah tak tahu rasa yang telah timbul tenggelam dalam hatiku. Tak mungkin! Karena di tiap pagimu saat embun masih terpucuk di ujung daun aku sudah tersenyum kepadamu di balik jendela di antara dua batang pohon cemara yang tak pernah menghalangi pandangan kamarmu dan kamarku.

Dan saat matahari beranjak pasti dari peraduannya tadi pagi, kucoba datangi rumahmu, demi sebuah asa yang akan terjawab jika aku bertemu kamu yang sudah kugilai dengan tulus sewindu ini. Tak mungkin aku terus simpan rasa ini dengan gejolak yang timbul tenggelam. Lebih baik aku memperlihatkan diri tentang rasa dan cinta yang terimbun diantara semak-semak hatiku.

Perlahan kuketuk pintu rumahmu, dengan senyum mengembang di semua sudut wajahku. Ya, demi sebuah pengharapan agar tak semu lagi. Setelah pelan pintu terbuka, aku bertanya pada ibumu yang membukakan pintu.
“Mukti ada bu?”
“Oh... nak Tommy, ada di belakang, tumben ke sini? Biasanya hanya lewat saja” jawab ibumu datar.
“he eh, iya bu, lama gak main ke sini, gak ganggu kan bu?”
“Oh nggak nak, kamu masuk aja ke belakang rumah” tutur ibunya kemudian
sambil mengangguk pelan, kulangkahkan kaki memasuki rumahmu, baru dua langkah, terderu mesin mobil memasuki halaman rumahmu. Seorang pemuda seumuranku turun dengan gaya parlente baru.

Ah, siapa dia gerangan? Bisikku
sejurus aku lihat kamu berlari kecil, dan tanpa sekalipun menolehku, kau dekap lelaki itu di hadapanku, nanar tak berbekas aku memandangnya. Dan tanpa sedikit saja kau picingkan mata kepadaku untuk sekedar berbasa – basi.

Dan aku, seperti jaylangkung saja, datang tak diundang pulang tak diantar. Aku berlari secepat kilat ke rumahku, dengan berjanji, takkan lagi aku mengisi malamku untuk menunggumu, memberi senyum manis di pagi dingin dan segera melupakan hadirmu sewindu ini. Cukup.

Share:

0 komentar