SENJA BROMO


Aku sedang menyeruput kopi hitam kesukaanku. Namun kali ini berbeda, aku menikmatinya di tengah kesejukan Bromo. Keadaanlah yang menuntunku ke sini. Kurasakan embun yang tak pernah kudapat di kota, embun yang selalu bersama mentari. Dan mentariku di sini, yang selalu menyinariku tanpa bisa menyentuhnya. Selalu mengisi langit di pagi hari saat siluet pagi menelusup melalui dinding kamarku.

Tak terasa hampir satu jam di kafe ini, dan sedang menunggu seseorang. Seseorang yang sudah lama tak pernah kutemui. Ya, aku menyempatkan diri kemarin datang ke sini, menginap di hotel yang bisa dibilang Super Melati. Aku hanya pekerja IT, yang berkutat dengan kode program. Sudah beberapa tahun terakhir, kesibukanku sangat bertambah sebab project- project IT sudah mulai banyak kutangani. Dan membuatku lupa kemagisan bromo dan seseorang yang membuatku buncah riuh beberapa tahun lalu.

“Siang Mas, maaf aku terlambat, aku mendadak memandu turis dari Belanda pagi tadi”, suara yang mengalun merdu di ujung telingaku dengan nafas yang sangat aku hafal, yang membuatku datang memburu cinta yang terpendam beberapa tahun lalu.

Namanya Eka, aku biasa memanggilnya “Ka” dengan logat khasku. Dulu dia kukenal saat masih kuliah, dan pria manapun sangat bodoh jika tak kagum padanya. Anggun tutur kata dan tak mudah marah, bahkan saat dia kukecewakan.

“Gak papa Ka, kamu duduk dulu, aku sudah pesan minuman kesukaanmu”, ujarku sambil mengagumi kecantikannya yang masih seperti dulu, saat aku gilai, saat selalu kuimpikan tiap hari.

“Ah Mas Sando masih hapal saja kesukaanku”, sahutnya sambil membetulkan kursi yang didudukinya.
“Gimana kabarmu Ka? Aku bukan kebetulan ke sini, aku memang menyempatkan waktu untuk ke sini, menemuimu”
“Baik mas, mas sendiri gimana?”, dengan tatapan khasnya yang lembut, yang membuat hatiku terpaut.

“Aku juga baik Ka, dan pasti kamu mendengar tentang pekerjaanku sekarang dari teman – temanku, seperti aku juga mengetahuimu kerja sebagai Guide di sini, tempat asalmu”

“Aku kesini ingin menjemputmu, kamu yang selalu aku cintai tanpa aku pernah berpaling. Kamu yang telah aku kecewakan sebab kemunduranku. Kali ini tolong kamu dengar aku”, lanjutku

“Kamu harus tahu sebab kemunduranku, dulu aku gak mungkin meneruskan cinta kita dengan keadaanku yang amburadul, keadaan keluargaku, keadaan ekonomiku, dan aku tak ingin menikahimu tapi tak bisa membahagiakanmu sebab itu”.
“Jadi aku pikir kita sudah sama – sama dewasa, tak perlu aku berpuitis ria kepadamu, satu pertanyaanku, maukah kamu melanjutkan kembali asa yang dulu pernah kita bangun?”, sambil aku tatap harap kepada Eka.
Perlahan ia meneguk Hot Lemon Tea-nya, dan mungkin sebab gundah tak terasa ¾ gelas dia habiskan. Ya aku menyadari, aku datang tiba – tiba. Tak biasa dan tak sesederhana sesuai kemauanku, aku memahaminya sebab aku mencintainya.

Sambil aku hisap perlahan rokok kretekku, sambil kukagumi dan kudengar jawab dari mulut indahnya, yang pernah kupagut beberapa tahun lalu, menikmati indah cinta bersama.

“Mas, kita sudah berbeda, aku tak lagi sama walaupun kamu bilang kamu masih sama. Dan tak sesederhana seperti kemauan kita untuk melanjutkan asa kita. Walaupun sebenarnya kuingin yang sama, bersamamu. Tapi cinta tanpa logika seperti membunuh kita pelan – pelan, dan aku tak menanggalkan logika dalam mencintaimu”, dan kulihat bening matanya telah tertutup segaris bulir – bulir air mata yang tak terbendung. Dengan cepat kutinggalkan kafe ini mengajaknya menyusuri senja seperti dulu. Setelah kutinggalkan beberapa rupiah di meja dan memberi isyarat pada waitress, segera aku gamit dia.

Aku susuri jalan setapak, sambil menggamitnya, tangan yang masih saja seperti dulu. Tangan yang pernah merawatku saat aku terdera sakit, pernah menjadi rengkuhanku saat kita bersama mengarungi suka duka cinta.

Aku tak mengucap sepatah kata, karena aku tahu, Eka sedang menghabiskan rasa gundahnya dalam tangisan senja. Cukup aku menggamitnya sebagai tanda aku masih ingin menjadi sandarannya.

Kami berhenti tepat di papan yang bertuliskan larangan dari Pemda setempat, “Dilarang Kencing menghadap Gunung Bromo”. Kami duduk persis di bawahnya, sambil sesenggukan dia berkata, “Kenapa mas mendefinisikan kebahagianku, kebahagiaan kita, sepihak? Kenapa mas juga tak memberiku kesempatan untuk mendefinisikan itu? Senja sudah berubah mas, embun pagi juga tak seperti dulu”, dan bulir matanya mulai menitikkan air yang membuatku tak tega, membuatku merasa bersalah dalam kata, laku dan semuanya.

Mendung mulai bergelayut di awan bromo, menemani senjaku yang tak pernah dapat kutebak, akankah bertepi dengan kemauanku, kemauan kita, atau terhenti sampai di sini.

“Memang aku tahu tak sesederhana itu Ka, tapi aku tetap ingin menikahimu, ijinkan aku menjagamu dalam suka dan duka roda kehidupan. Ijinkan aku menjadi imammu yang membimbingmu dalam arus deras kehidupan kita,itu saja”.

“Aku sudah katakan mas sando, kita berbeda, berbeda dalam keadaan, dan gak se-simple yang mas kira”, sahut Eka.

“Katakan Ka, apa yang membuat rumit, apa yang membuat kita berbeda, aku harus tahu itu”, ujarku nanar kutatap dia.

Tak terasa, gerimis senja mulai mengguyur bromo, bersamaan dengannya, Eka pecah dalam tangis hingga tangisannya tak terlihat.

“Aku Menikah Bulan Depan Mas”

Seperti api bromo yang menyambar ke tubuhku, aku lunglai, lemas mendengarnya. Bersama hujan, kutatap senja, dan aku tak bisa ucap, bisu.
Sejurus setelahnya, “Ka, kalau aku lakukan larangan seperti di papan itu mengakibatkan apa?”, ujarku.
“Ah, Mas Sando selalu ada saja hal yang tak penting dikatakan”, sahutnya sambil menyunggingkan senyum terpaksa.

“Beneran aku ingin tahu, kamu tinggal jawab saja singkat”

“Kalau itu terjadi, hal – hal yang menjadi rencana orang tersebut akan gagal sebab dewa di Gunung Bromo sakit hati”, sahut Eka.

“Baiklah kamu tunggu di sini sebentar”, aku berlalu membelakangi Eka, di balik rerimbunan pohon, antara semak – semak Bunga Edelweiss.

Selang beberapa menit aku kembali, dan tentunya dengan pertanyaan Eka. “Ngapain Mas?”
“Kamu bilang kan larangan itu? Aku melanggarnya dan aku berharap asamu dengan dia tak terjadi, dan kamu kembali padaku”

“Ya mas, biar takdir yang menulisnya dalam seonggok kisah cinta kita”, sahut Eka

“Bulan depan aku kesini, sebagai tamu pernikahanmu atau sebagai pria yang melamarmu. Ku tunggu takdir, dan aku bersikap sebagai pria yang tetap membahagiakanmu, baik sebagai sahabatmu ataupun sebagai suamimu”

Perlahan aku gamit ia berjalan menyusuri jalan setapak, bersama hujan yang semakin deras, menuju kafe tadi, menikmati secangkir kopi bersama, yang entah sebagai akhir cerita atau sebagai awal yang akan dilanjutkan dengan pertemuan berikut yang indah.

Aku tak tahu dan aku tetap berharap, itu saja.

Probolinggo, 1 Juni 2013 ( dalam  rangka kompetisi menulis #katamitos )

Share:

0 komentar