SURAT UNTUK MANTAN #4

Salam Sejahtera, Masa Laluku.

Maaf, apa kata-kataku terlalu formal? Mungkin aku hanya terpengaruh dengan pekerjaanku sekarang, yang menuntutku untuk bertindak lebih bijaksana. Karena kebijaksanaanku sekarang secara tidak langsung engkau yang menuntutku, atau lebih tepat mengajarkanku.

Oh ya bagaimana kabarmu sekarang? Sudahkah kau bekerja? Atau berbisnis? Semoga impianmu menjadi pengusaha menjadi nyata. Tak seperti aku, walau aku sekarang bisa dikatakan pejabat pemerintahan, gajiku masih tak seberapa. Yah, tetap seperti dulu, walaupun tak seberapa aku berani mengejarmu. Karena cintaku kepadamu tak pernah seberapa, tapi sebesar gunung yang tak sanggup orang untuk mendakinya. Karena cinta adalah anugrah, dan karena cinta adalah sebuah tonggak keyakinan nyata.

Dear masa laluku, Dwitarani. Terhitung sudah empat kali aku mengirim surat padamu. Maafkan aku berbohong kepadamu, di surat terakhir aku berjanji untuk tak mengirimimu surat lagi. Aku tak mampu dan tak kuasa membendung keinginan menulis surat ini lagi kepadamu. Yah, walaupun aku tahu engkau takkan pernah membalasnya. Biarlah, selembar surat ini asal bisa pergi dari hadapanku dan menuju hadapanmu. Selembar surat ini akan menjadi saksi tentang hatiku yang tetap merenjana merdu. Selembar surat ini layaknya sepasang tanganku yang mencoba merengkuhmu dalam bisu. Selembar surat ini menyampaikan air mataku yang jatuh di tanda tanya terjauh, ketika raga tak mampu melukiskan dan ketika hati tak mampu menggelar pertanyaan.

Oh ya, masa laluku, Dwita. Ketika aku menulis ini, saat para buruh berdemo, dan saat itu pula hari ulang tahunmu. Kamu terkejut pastinya bahwa aku masih mengingat ulang tahunmu. Tidak, aku takkan pernah lupa. Karena hati yang terlanjur lebur takkan pernah mampu melupai hal kecil yang pernah kita lakukan bersama.

Aku ingat, saat itu di ulang tahunmu kamu malah menghadiahiku sebuah mobil putih ERTIGA. Aku ingat sekali, bahwa aku sempat marah padamu. Aku menyangka, engkau merendahkanku. Engkau menghinaku, padahal engkau tahu aku tak bisa duduk di belakang kemudi.

Tapi ternyata aku salah. Niatmu menghadiahiku adalah agar aku bisa selalu bisa menjemputmu. Kapan saja ketika kamu ingin berdua denganku tanpa gangguan dari siapapun. Karena menurutmu, dengan mobil kita berdua lebih safety. Tentunya otomatis aku akan terpaksa belajar duduk di belakang kemudi.

Tapi sayangku, sekali lagi maafkan aku saat itu aku menolaknya. Karena alasan kedua sangat tidak logis. Engkau ingin agar aku selalu ada untukmu, meninggalkan semua yang kubangun dari kapan lalu. Meninggalkan semua untuk selalu bersama dirimu. Bukan cinta, jika ingin memiliki semuanya, dan bukan cinta jika di antaranya disusupi jelaga nyata tentang hati yang tak pernah merangkai merdu kepada hati yang lain. Yaitu, hati kita, aku dan kamu.

Jadi, mohon maafkan aku tentang itu sayangku. Aku hanya berniat mengajarkan padamu, bahwa cinta adalah sesuatu yang sederhana. Cinta dimulai dari hal sederhana dan akan diakhiri dengan sederhana pula. Karena cinta adalah anugrah yang sederhana tanpa pernah kita minta. Karena cintaku adalah sesederhana embun yang jatuh sebab angin sederhana meniupnya. Tapi sebab tanah yang kering, embun jatuh meresap ke tanah lalu mati.

Tapi tidak dengan cintaku, takkan pernah mati kepadamu walau aku tak mungkin lagi akan memilikimu.

Ah sudahlah, terlalu panjang nanti kau bosan membacanya, dan belum tentu juga engkau sudi membacanya.

Dear Dwitarani, masa laluku.

Aku akan tetap merindukanmu seperti senja yang selalu merona merah muda. Seperti malam pekat yang selalu berteman suara jangkrik walau terkadang debur kali melepuhkan bunyi itu. Laksana malam yang terbunuh oleh gigil pagi yang sepi, ia takkan pernah bosan untuk datang keesokan harinya, dengan pekat dan kelam yang sama. Aku selalu rindu, tentang kamu yang pernah melukis labirin hatiku dengan gambar cinta yang tak lekang oleh jelaga panjang dan waktu yang semakin menua.

Salam sayang,
Masa lalumu yang tak sempat menjadi masa depanmu. Masa lalumu yang tak mungkin melesat menjadi masa depanmu.

Share:

0 komentar