PEREMPUAN DALAM MIMPI (Episode 1)


Seperti biasa, tiap hari aku datang di kafe itu. Bermodal laptop dan rokok kretekku, rutinitas keseharian dan kesemalamanku. Tanpa jeda, tanpa syarat selalu kulakukan tanpa mimpi.

Namun, hari ini, hatiku seperti membuncah tak padat. Kosong, tak bertelur ide-ide brilian yang biasa aku lakukan. Biasa saja, dan tak terasa segelas kopi sudah aku habiskan. Ini terjadi setelah beberapa malamku terhias sesosok perempuan paras ayu, berkerudung merah jambu. Dan aku tak tahu datangnya mimpi itu darimana. Yang aku tahu, dia selalu menghias sudut – sudut mimpi malamku.

Dan hari ini, ternyata tanpa sadar, dia ada di kafe tempat tongkronganku, dan serba kebetulan juga berkerudung merah jambu. Tak terasa jua, komat kamit mulutku berucap, “inikah kamu yang membuat segala mimpiku menjadi merah jambu?”


ah, aku jadi terkesima sendiri. Lamat – lamat aku tamatkan melihatnya, dan pastinya takkan mungkin tamat. Aku mulai dari ujung kerudung merahnya. Ya, benar – benar sama seperti dalam mimpiku, dan masih dalam mimpiku. Tapi kali ini aku tak bermimpi. Tanpa putusan hakim, tanpa proses persidangan, aku terpenjara tanpa jeruji besi, dalam kenikmatan tanpa jelaga sebab wajah ayu yang menjuntang di hadapanku, terpaut dua meja di depanku.

Hatiku seperti mematung dalam persimpangan tak berarah. Apakah aku harus menyapanya, atau cukup diam tanpa ucap?apakah lebih baik aku tatap saja? Ataukah....?berkecamuk dalam setiap sudut otak kecilku,karena pandangan yang tak sengaja memang selalu membuat riuh. Riuh seperti di pasar tapi hanya diam.

Ataukah diam sudah cukup agar perempuan itu tetap hadir di mimpi malamku? Apakah dengan menyapanya dia masih akan tetap hadir di mimpiku? Apakah dan apakah lagi yang harus kulakukan? Tuhan bimbing jalanku untuk berucap.

Satu menit, dua menit dan tak terasa sepuluh menit aku tak bergerak di depan laptopku. Sedang perempuan itu, sudah berkali – kali merubah posisi duduk, dan berkali – kali juga telah berganti menu. Tanpa dia sadar aku dari tadi memperhatikannya dengan nanar dan tak mampu berucap riang.

Aku sedang tak menunggu siapa – siapa. Sedang dia, aku tak tahu juga sedang menunggu siapa. Gelas – gelas kecil di hadapannya sudah hampir tak berisi, tapi dia tetap belum beranjak pergi. Sekali dua kali dia main – mainkan gelas – gelas itu. Tanpa dia sadari, aku tetap di ujung peluh menatap kerudung merah jambunya.

Sekelebat waktu dia melemparkan pandangannya ke depan pintu dan tetap dengan aura magisnya. Dan akhirnya dia angkat kakinya dari meja kafe ini sambil dia selipkan selembar rupiah tanda dia menyelesaikan pergantian menunya, tanda dia menyelesaikan hari dan tanda aku menyelesaikan pandangan nanarku pada dia, perempuan yang selalu menghiasi mimpi malamku.

Dan aku, mulai hari ini akan selalu rajin menunggunya di kafe ini di waktu yang sama. Dan aku yakin pasti akan mencari waktu untuk tak hanya tatap tapi ucap.

Share:

0 komentar