Surat Untuk Mantan #5

Terima kasih sebelumnya atas waktu yang kau berikan pada suratku ini. Surat yang kelima semenjak kita terpisah jarak, terpisah waktu, dan tak pernah kulupa, terpisah hati.

Kau tahu dwita, kamu adalah sesuatu yang tak bisa untuk kulukiskan dengan kata-kata yang tak panjang. Engkau menggurat sebuah keabadian tak semu, di dalam penjuru labirin hatiku. Melarikan rohku dari beban penghimpitan yang memenuhi ronggaku yang pengap dan sempit. Membawa diriku ke sebuah telaga yang sarat akan kasih sayang, berbentuk riak-riak rindu yang tak pernah kutemukan ujung pangkalnya.

Tapi dwitarani. Semenjak kita terpisah hati, aku semakin tergulung dalam sebuah pertanyaan panjang. Aku terjatuh, di tanda tanya terjauh; saat lembaran-lembaran cinta berusaha kubuang dan sajak-sajak yang kurangkai merdu berusaha kugugurkan. Tapi itu tak pernah mampu kulakukan. Aku hanya tak mampu memahami jawaban-jawaban yang kau lukiskan. Engkau menguarkan sebuah bait yang tak bisa untuk kukatakan merdu. Kau sapu gulungan pertanyaanku tanpa kau pedulikan apa yang pernah kulakukan untukmu dan apa yang pernah kita lakukan bersama.

Kau merasa, berdiri di atas pijakan kuat di mana dengan tanganmu sendiri kau membangunnya. Kau lupakan aku yang semenjak dahulu berada di sisimu membantumu sebab cinta yang menusuk-nusuk di penghujung nadiku. Kau larut, dalam sebuah kata seolah kau ratu dari segala ratu di dunia ini.

Kenapa Dwita? Kenapa kau lakukan itu, dan kenapa pula aku tak sanggup untuk menguarkan nafsu amarah padamu?

Dwita, terhitung 150 hari kita terpisah, dan lima surat telah kukirimkan padamu. Aku tahu, engkau berhak untuk tak membalasnya, bahkan tak membacanya engkau pun masih berhak. Tapi, tak jenuhkah engkau Dwita? Tak jenuhkah engkau dengan apa yang kita alami hingga saat ini?

Seandainya cinta menjadi penghalang engkau untukku bertemu denganmu, dan seandainya cinta menjadi perajam hatimu untuk meluapkan api yang tak pernah kunjung padam. Kumohon, anggaplah aku tak pernah mencintaimu, dan temuilah aku di penghujung rona jingga yang sudah tak lagi merah muda.

Untukmu, yang pernah terpikir menjadi masa depanku. Yang pernah kuimpikan berjalan di sampingku.

Share:

0 komentar