Surat Untuk Mantan #6
Apa kabar Dwita? Aku tak
menemukan pick-up line lagi
selain kata ini. Kupikir, kata ini normal, standard. Jauh dari kesan
tak peduli, apalagi kesan merendahkan. Ini hanya kata-kata pembuka
biasa saja, dari aku yang dulu pernah menganggapmu tak biasa. Aku
yang dulu menganggapmu istimewa. Iya dulu, bukan kita yang sekarang.
Tapi naluriku yang dulu kepadamu masihlah sama. Bahkan lebih tinggi
dari yang dulu walaupun kita secara raga apalagi secara hati tak
sedang memagut kasih.
Oh
ya Dwita, hari ini hampir penghujung Bulan Mei. Masih ingatkah engkau
dengan Bulan Mei? Bulan yang untuk pertama kalinya aku menciummu,
sekaligus sebagai penanda akhir bahwa aku tak akan menciummu lagi.
Tak akan merengkuhmu di bawah cahaya temaram yang kita buat bersama.
Apalagi menggenggam tanganmu di antara selimut lusuh yang kau bawa
sebelumnya. Iya, Bulan Mei adalah titik akhir ketika kita sudah
memutuskan langkah untuk tak bertemu, tahun lalu. Oh maaf, lebih
tepatnya kamu yang memutuskannya tanpa ada negosiasi denganku.
Aku
ingat dan sangat membekas di ingatanku. Malam itu, engkau diam. Tak
kutemukan aroma penolakan darimu saat aku memeluk tubuhmu dari
belakang. Hanya suara deru angin di sekitar yang mengiringi
kita. Tak ada musik jazz, apalagi suara gitar klasik. Hanyalah alunan
suara angin malam di sela malam temaram serta cahaya lampu yang tak
bisa untuk dikatakan terang. Kamu terpejam, dan aku menciummu pelan.
Aku tak ingin merusak momen indah ini. Momen saat kita mulai
merasakan apa yang diharuskan oleh cinta. Momen saat ujung hidungku
menyentuh keningmu. Momen saat tanganku melingkar di pinggangmu dan
tanganmu melingkar di pergelangan tanganku. Serta momen saat sayangmu
kau pejamkan untuk kurasakan dengan sayangku untukmu.
Indah
bukan, Dwita? Kamu harus mengakuinya, karena cinta adalah tentang
rasa dan aku merasakan apa yang kau rasa. Walau aku tak tahu apakah
rasa itu sekarang masih ada. Yang terpenting, saat itu engkau
merasakan apa yang kurasa dan aku merasakan apa yang kau rasa. Sebab
rasa adalah anugerah, tentunya tanpa kita minta pun tak kuasa kita
menolaknya.
Di
penghujung suratku ini (aku namai penghujung seperti kisah kita di
penghujung Bulan Mei dulu), aku telah membuat daftar pertanyaan yang
bisa aku dan kau menjawab masing masing. Semoga engkau berkenan
menjawabnya, tapi aku tak mewajibkannya. Karena ini bukan UAS seperti
yang dialami adik-adik kita yang sedang menempuhnya. Penuh tekanan.
Tidak, aku sedang tidak menekanmu, karena jawabanmu adalah masalah
kesadaran dari dirimu sendiri.
- Apakah perasaanmu sekarang sama dengan perasaanmu yang dulu padaku?
- Apakah kamu masih ingat perkenalan pertama kita?
- Apakah kamu masih ingat, kata yang pertama kita ucapkan masing-masing di awal perkenalan?
- Apakah kamu bahagia menjalin kisah denganku?
- Apakah ada hal yang pernah tak kululuskan saat kau meminta padaku?
- Apakah pemberianku di ulang tahunmu masih kau simpan atau kau buang?
- Masih ingatkah kamu apa yang kita lakukan di bulan mei?
- Apakah kamu pernah sepi semenjak kita memutuskan langkah sendiri-sendiri?
- Apakah sesekali kamu mengingatku saat sendiri di bilik kamarmu?
- Apakah pernah kamu tersadar bahwa kita sama-sama saling membutuhkan?
- Masihkah kau simpan nomor ponselku di ponselmu?
- Seandainya rindu mulai menjalar di hatimu, apakah kamu akan menghubungiku?
- Seandainya kamu menikah, apakah akan kau hapuskan segala hal tentangku?
- Seandainya kamu menjadi kita yang lain, masihkah engkau akan mengingatku?
- Apakah kamu akan merindukan kita dan menangisi cinta kita?
Mungkin
inilah penghujung suratku dwita. Iya mungkin karena di dunia ini tak
ada sesuatu yang pasti bukan? Seperti kita yang pernah memastikan
akan bersatu selamanya ternyata tidak pasti selamanya. Semoga engkau
mau membalas suratku yang kesekian kalinya, Dwita.
Karena
aku tak pernah lelah untuk menunggu, dan tak pernah lelah untuk
menulis tentangmu.
Dariku,
pecinta Bulan Mei, untukmu yang sempat kupastikan bersama selamanya.
Tags:
Cerpen
0 komentar