ANTARA HIJAB DAN HATI



Ah, wanita itu lagi. Mungkinkah ia malaikat? Aku tak tahu. Yang kutahu dengan style tomboy tanpa penutup kepala yang sering mereka sebut hijab, kerudung dan apalah itu. Tanpa itu semua, ia masih cantik. Aroma kemagisan membiusku dalam dunia yang tak sengaja kumasuki. Aku terpana.

Kukenal banyak perempuan, dan rata-rata mereka berhijab. Tapi apa yang kudapat? Hanya kelindan hati yang tak kunjung langsai. Mereka tak ubahnya para pengelana malam yang bertudung sopan. Tutur kata rata-rata sopan, dengan tingkah dan nada bicara diatur. Tentunya sengaja diatur. Aku tahu, tak semua orang berhijab sama. Tapi, paling tidak dari beberapa perempuan yang kukenal, mereka merumitkan hidupku. Iya, hidupku, bukan hidup mereka.

Perempuan pertama, kukenal di tempat yang selalu menjadi singgahanku. Tempat yang selalu menguarkan aroma kopi kental dan tentunya hitam. Beberapa kali ia membuatku terpesona. Candaan hingga curhatan yang berujung pada cinta, kurasa. Memang, cinta adalah sebuah kebiasaan. Kebiasaan yang terkadang disengaja dan tak jarang pula tak disengaja. Tapi akhirnya, ia terlalu mengatur hidupku. Mengurusi hidupku layaknya belahan jiwaku. Ketika aku mulai menarik diri, ia mulai menebarkan kata-kata yang tak manja. Memojokkan diriku di dunia yang kami sama-sama berada di dalamnya.

Perempuan kedua, kutemui di sebuah kegiatan yang memang sengaja kuikuti. Tapi, bertemu dengannya bukanlah kesengajaanku. Perempuan ini unik. Cantik relatif, menurutku. Tapi, dari kesan pertama cukup membuat sebuah cerita di larik kamarku, apalagi pada malam hening tergugu. Tak terasa, interaksi terjadi cukup intens. Hingga akhirnya, terbersit perasaan suka. Iya, hanya suka, belum menuju ke ruang rindu yang biasa terjadi antara anak manusia lain jenis. Tapi tentunya bisa saja terjadi seandainya waktu yang kuberikan padanya ia gunakan dengan baik. Iya, dengan baik. Tidak dengan aroma menyengat di ulu-ulu hatiku. Hingga dengan berat hati, kulangsaikan hubungan yang masih dikatakan teman biasa itu. Hubungan yang menurutku bisa saja menjadi bukan teman biasa, tapi sebab laku yang tak jelas padaku, membuat aku laksana kambing congek yang bisa ia bawa kemana pun ia suka.

Perempuan ketiga, ini yang lebih unik. Aku tak tahu apa perasaannya padaku. Yang kutahu, hatiku mulai timbul sebuah rasa yang tak biasa. Unik dan sangat unik, itu yang kupikir. Bagaimana tidak, jika ia kukejar, lari menjauh. Jika aku berhenti, ia mengejarku. Jadi, daripada naik turun tak jelas, kupikir lebih baik berhenti. Sebelum lampu merah di depanku berwarna merah.

Wah, tak terasa banyak juga perempuan yang kukenal, dan semuanya berakhir langsai. Aku tak tahu untuk yang keempat ini apakah bernasib sama. Yang kutahu, ia tak berhijab. Aku bukan antipati pada hijab dan pernak-perniknya. Bukan, apalagi benci. Justru perempuan berhijab sangat aku suka. Favoritku. Tapi entahlah, dari perempuan berhijab aku belum menemukan hati yang sepadan dengan hijabnya.

Jadi, berhijablah engkau wahai perempuanku. Berhijablah hingga menembus ke sudut terpencil hatimu, hingga keanggunan parasmu juga keanggunan hatimu. Jika itu tak terjadi, bukalah jilbabmu sementara. Aturlah hatimu, seperti kendaraan yang antri di jalanan macet. Mereka tak pernah dan tak ingin saling menyerobot. Jagalah hatimu, seperti para adik-adik kecil yang umurnya masih belum sepuluh tahun. Mereka asli, tak pernah terkontaminasi oleh yang namanya intrik.

Lalu, pakailah jilbabmu jika hatimu sudah berhijab.

Share:

0 komentar