AKU BISA SENDIRI

Tak perlu kuhitung pertemuan kita. Tak perlu kuukur jarak antara kita. Karena cinta itu bukan ilmu pasti. Cinta itu sederhana, sesederhana aku dan kamu. Yang tiba – tiba bisa menyergap dalam keadaan sadar atau tak sadar. Karena datang tanpa sengaja atau tidak, tetap cinta itu anugerah.


Tidak sepahamnya kamu tentang aku, memang berbanding terbalik dengan pahamnya diriku akan kamu. Tidak mengertinya perasaanmu memang sangat berbeda jauh dengan kegilaanku padamu. Mungkin aku menganggapmu terlalu penting di kala kamu sendiri tak memikirkan diriku. Karena aku hanyalah seonggok kertas kecil yang hanya dicari ketika tiadanya kertas di sekitarmu. Karena aku hanyalah kepercumaanmu daripada sesuatu yang kamu puja.

Tatapanmu tak setajam tatapanku bak burung hantu yang menatap nanar kepadamu. Perhatianmu tak semerhatiku akan kamu laksana Tuhanku kepadaku. Pasti inilah kesalahanku, yang mengganggap kesamaanku denganmu. Yang menganggap pikiranmu sama denganku. Yang mengganggap bersambut dengan rasa yang sama. Kesalahan yang tidak aku sengaja namun aku perbesar dengan langkah yang seperti seorang raja yang tak tahu mana kerajaannya.

Apakah setidak berharganya aku kepadamu? Apakah seperti iklan di layar tvku yang hanya diingat sampai iklan itu selesai tayang? Dimana letak hatimu dan perasaanmu? Aku tak berhak bicara cinta kepadamu dan tak mungkin berharap lebih. Aku siapamu? Kekasihmu? Bodohnya diriku mengharap sesuatu yang hanya akan berjalan satu arah, bukan dua arah yang seharusnya. Sesuatu yang tak mungkin terjadi untuk saat ini, besok ataupun lusa.

Sudah jauh kurasa pengharapanku. Sudah usang rasanya niat yang dulu aku bangun. Sudah selesai rasanya cerita ini untuk aku ceritakan kembali. Mungkin tidak salah jika aku terdiam dalam pilu dan terjelaga dalam kesendirian. Karena memang saat ini harus aku tentukan langkah. Karena sang Pecinta juga harus melanjutkan rasa dengan yang lain, tak mungkin hanya mengejar bayang – bayang mentari jikalau mentari itu tak merasakan apa yang dia sinari dan apa yang dia terangi.

Ah, terlalu banyak cerita dan pertanyaan, sedangkan kamu tak sadar jemarimu telah menimbulkan luka dan menghancurkan mimpi – mimpiku. Muak rasanya, karena mencintaimu yang belum tentu mencintaiku, mengagumi yang kamu saja tak tahu dan tak paham dengan kekagumanku. Namamu saja sudah berubah panggilan darinya seperti berubahnya panggilannya kepadamu. Buat apa aku pilu, sedang kepiluanku hanya seperti abu yang bersatu dengan angin. Karena aku bukan siapa – siapa di matamu dan takkan pernah menjadi siapa – siapa. Karena tambatan itu semakin dalam dan takkan mungkin aku cabut walaupun sekuat tenaga aku kerahkan.

Mungkin aku terlalu berharap banyak. Aku tak menyadari posisiku dan aku tak memahami ketidakpahamanmu terhadapku. Aku terlalu menggunakan rasa dan tidak sekalipun menggunakan logika. Jikalau dari awal aku sudah menggunakan logika dan perasaanku, tidak seberhancur saat ini, seperti kayu yang hancur di dalam sekam. Seperti remah roti yang larut dalam air tak berbekas.

Sudahlah, aku tak perlu basa – basi, karena aku terbiasa sendiri. Aku terbiasa pilu, apalagi dikarenakan kehebatan bayanganmu di mataku. Aku terbiasa sakit seperti tanpa sebab, padahal tersebab kamu. Dan kamupun takkan pernah tahu, kalau aku berbohong untuk bisa melupakanmu dan membuang rasaku.

Dan aku akan tetap sendiri seperti biasa dan menikmati kesepian di malam hari, walaupun bayanganmu tidak semudahnya hilang dalam ingatan, aku tetap harus sendiri seperti sebelum kamu.

Dan aku terbiasa sendiri.

Probolinggo, 5 April 2013, 00.31 AM

Share:

0 komentar