SEPERTI BIASA SAJA


Tak kusangka, tak kunyana beberapa hari ini dia pasang gambar – gambar tentangnya dan lelakinya. Ah, apakah aku cemburu? Cemburu sih kurasakan tidak, tapi seperti ada yang janggal aku rasa di sudut – sudut hatiku. Teman baikku, sahabatku, apakah itu semuanya benar?

***
“DPnya mantap ya Lia....., mesra banget nih kalian”
“Ah masak sih mas?” jawabnya datar.
“Beneran... “ Kataku.

“Gak seperti itu kok mas aslinya”.
“Hmmmm”, sambil otakku terbang kesana kemari. Membayangkan benarkah itu? Kalau sudah terbiasa panggilan seperti itu, apakah masih mungkin aku mengejarmu?
“Panggilan yang mana sih mas? Bingung aku...”
“Leh...., yang itu loh, Abi Umi, pura – pura sih kamu, pura – pura gak tau!”
“Ah mas ini, beneran, kalo gak percaya ya terserah kamu wes mas, aku gak mau perpanjang...”.
Yah, itulah kamu, cepat meletup, cepat dingin, seperti kompor gas yang ada di dapur ibuku.

“Mas mau tak jelasin apa?”
“Yang mana umi, eh Lia?” candaku sambil aku pindah tempat dudukku mendekati dia. Tambah ayu aja parasmu nduk, anugrah Tuhan yang terindah yang pernah aku lihat. Seperti sunrise di pagi hari, terobatinya jelaga hatiku ketika melihat kamu, kegilaanku.

“Itu yang ada fotoku mas kasih kata – kata itu”? Agak ketus sih nadamu.
“Oh.... itu”, sambil kuhisap rokokku dalam – dalam.
“Gak ada yang perlu dijelasin Lia, itu kata – kata puitis saja, itupun kalo kamu suka, kalo gak ya maaf kan tinggal kamu hapus saja... “
“Aku ngerasa tersindir loh mas, aslinya aku gak seperti itu, mas ini bikin aku galau saja” dengan tatapan yang tak biasa kamu sampaikan itu. Yah aku sih biasa saja, karena kali ini aku memang mau ber bermain – main denganmu, tapi cintaku gak main – main. Biar kamu terus meletup, biar wajah ayumu tetap bisa aku nikmati.

Kamu ini kayak abg saja yang tak tahu. Atau kamu tak mau tahu? Berkecamuk pikiranku, mau aku katakan atau tidak ya? Aku tinggal pilih sebenarnya, “Tatap atau Ucap”. Setelah berpuluh – puluh kilometer kurasa pikiranku, lebih baik ucap daripada dia tak mendengar sendiri dariku. Lebih baik dia tahu kalau aku benar – benar mencintainya. Karena sepertinya kamu tak memahami kodeku, tak bisa menerjemahkan isi hati dari kode – kodeku. Tapi apakah selama ini kamu mengabaikanku dan tak mau tahu?

“Lia, aku gak berniat menyindirmu. Itu ungkapan hati saja, dan benar – benar dari hati. Kamu sebenarnya ngerasa gak sih? Aku sih berniat berhenti sebenarnya, tapi di tiap sudut terpencil otakku yang muncul selalu kamu dan kamu.” jawabku dengan penuh magis, agar kamu benar – benar tahu keseriusanku.

“Ah mas ini, suka bikin teka – teki, tambah bingung aku”, sambil senyum – senyum kecil kamu. Ingin rasanya aku toyor kamu, sebegitu saja masih perlu dijelasin gamblang.

“Lia, apakah harus dengan kata – kata cinta, cinta mati? Untuk membuatmu tahu perasaanku sama kamu?” berkernyit dahiku rasanya.

“Gak usah mas, aku sudah tahu kok. Gak usah aku jelasin, biar berjalan dulu seperti biasa” dengan datarnya jawabanmu.
“Leh, kamu ini, sukanya gantung – gantung ah..., kalo gitu mending aku terusin kopiku”
dan hanya dengan senyuman kamu membalasnya. Mau sampe kapan?Pikirku.

Pelan – pelan aku tatap kamu. Terbiasa menatapmu, terbiasa mengagumi, akhirnya aku terbiasa mencintaimu. Semua hal biasa menjadi terbiasa jika kita lakukan berulang. Menjadi istimewa jika yang terbiasa dekat dengan kita. Sendal saja berjajar, sudah cukup bagiku, apalagi orangnya berhadapan terhalang meja. Apalagi menjadi nyata tanpa penghalang, satu atap. Akh, khayalanku semakin membuncah saja kalau dekat kamu.

“Udah ya mas, aku mau kerja dulu, biasa nih, nasib karyawan” sambil beranjak pelan kamu tinggalin aku, mulai dengan kesibukan harianmu.
“Ya udah gih, kamu terusin aja, aku juga mau terusin ngopi” mataku tetap gak bisa pindah darinya, kecintaanku karena keterbiasaanku.

Haruskah kita meninggalkan sesuatu yang menggantung yang menurut kita bisa memberikan kebahagiaan secara penuh? Bagaimana kebahagiaan itu bisa kita berikan walaupun kita yakin, sedang objek kebahagiaan itu sendiri tak memberi kesempatan, kesempatan yang sama seperti yang diberikan kepada orang lain.

Beberapa saat aku terpaku dalam bisu, dan beberapa saat akhirnya aku putuskan, biar saja berjalan seperti mentari yang terbit di pagi hari dan akan tenggelam di ufuk barat, seperti biasa.

***
Probolinggo, antara 10 – 11 April 2013

Share:

0 komentar