BINTANG DI LANGIT KELAM


Sudah satu jam lamanya aku masih di perpustakaan ini, dan sudah berbulan-bulan ini aku bunuh waktu siangku di tempat ini. Aku tak bosan di ruangan ini, walau tak bisa dikatakan sejuk. Sudah berpuluh-puluh buku aku habiskan bukan tanpa sebab.

Sebab aku menggilainya, perempuan penjaga perpustakaan ini. Ya, aku hanya mengaguminya, karena tak mungkin aku mencintainya. Sudah tak terhitung kami saling bertukar pandang melalui udara, mata kami sering bertemu, dan masih tanpa ucap, tapi kami sudah berbicara melalui hati.

“Masih seperti dulu Rin, senyuman yang membuatku kembali ke kota ini”
“Kamu juga mas, masih seperti dulu, tak pernah kutemukan perbedaan pada dirimu”
“Apakah pagimu masih kau ramu dengan rindu?”
“Waktu berjalan, seperti kereta senja, tak mungkin dia berhenti di satu stasiun”, sahutnya.

Aku tercekat dalam kesunyian, sambil kubaca lagi buku yang dari pagi menjadi temanku. Aku larut dalam kata-katanya tadi, sarat akan makna dan menggulung pertanyaan panjang. Apakah dia akan menerima cintaku lagi? Apakah cinta yang belum usai kemarin bisa dilanjutkan kembali? Aku tak tahu hingga pertanyaan ini aku lesapkan ke hatinya, melalui rangkaian kata indah yang harus segera aku ungkapkan.

“Bisakah kereta itu kembali ke stasiun awal pemberangkatan Rin?”
“Tidak mas, kereta itu harus melaju, karena dia telah menentukan kemanakah dia menuju, dan dia juga harus meninggalkan stasiun yang pernah dia singgahi. Singgah mas, bukan tinggal”, sahutnya lirih.

“Kenapa Rin?”
“Kereta itu menjadikan stasiun kenangan yang takkan pupus mas, kenangan yang takkan dia lupai sepanjang hidupnya. Kenangan yang dia sesap di sudut hatinya, walau menyisa tangis yang tak pernah usai. Tapi, tetaplah kereta itu harus berjalan, mengikuti jalan yang sudah dia tentukan”

“Maafkan aku Rin, bukan kulalai dengan cinta kita, tapi keadaanlah yang membuat demikian”
“Maafkan aku mas, senja sudah berubah, jalanpun sudah tak lagi sama, tapi mas harus tahu, kurapal doa untukmu tiap malam, demi menahan rindu, dan jalan ini sudah kutentukan, lebih tepatnya ditentukan”

Aku mulai mengerti, kabar yang kudengar dari angin benar, tak pernah berdusta. Aku harus melewati hari tanpanya, tapi tak mungkin kulebur cintaku padanya. Kujadikan dia bintang di langit jiwaku, yang senantiasa aku kenang dan aku rindu, sampai kujejakkan kaki di singgasana Tuhan. Walau kelam menutupi malam, dia tetaplah menjadi bintang yang selalu melukis malam jelagaku, sampai raga terpisahkan oleh jiwa, cinta kami takkan sirna. Mengabadikan cinta kami yang tak semu, menjadikan tanaman jiwa yang tak lekang oleh waktu.

Share:

0 komentar