PEREMPUAN MALAM-KU
Maafkan aku, perempuanku.
Maafkan karena mungkin aku hadir di sela-sela waktumu. Sungguh, aku
tak sengaja, pun juga aku tak mengira kenapa bisa seperti itu. Yang
aku tahu, semenjak aroma magismu menyuntikkan sesuatu yang haru biru
di otakku, dan sejak itu pula sudut-sudut terpencil otakku mulai
terisi sebab kamu, aku mulai menulis tentangmu. Bahkan larik-larik
dinding kamarku yang dulunya sunyi tak bergambar, sekarang mulai
terlukis wajahmu di situ. Penaku seakan berontak jika sehari aku tak
menulismu, tak mendiksikanmu, walaupun aku tahu, aku kesulitan
mendiksikanmu. Aku pun tak tahu apa rasa yang mulai menelusup dalam
sanubariku, aku tak gegabah mengatakan padamu, tapi aku akan terus
menulis tentangmu.
Tapi perempuanku, cukup
kau tahu, walaupun aku sering menulismu, entah dalam antah berantah
yang bernama prosa, ataupun dalam bait-bait puisi putih, aku bukanlah
lelaki yang puitis, yang akan melayangkan kamu dengan kata-kata mesra
seperti para abg di pojok alun-alun itu. Aku hanyalah menuangkan apa
yang ada di dalam hatiku, sebab jiwaku terpana akan kamu yang
membuatku lupa di mana aku berpijak, dan di mana aku mencari
sebahagian diriku yang lain. Apakah mungkin sebagian diriku ada pada
kamu, perempuan malamku?
Ah, aku takkan berani
mengucapkan cinta padamu, karena bagiku cinta adalah milik Tuhanku
dan Ibuku. Aku mengagumimu, mungkin itu sudah lebih dari cukup. Tapi
cita-cita untuk bersamamu, di setiap waktu yang ada, adalah sesuatu
yang terus aku tunggu. Kalau memang kau memandangku pengecut, sekali
lagi perempuanku, maafkan aku. Aku tak bisa berpikir logis, kau kan
tahu, seorang pecinta tak perlu alasan untuk mencintai. Pun ia
menjadi gila dari semua orang normal di sekelilingnya, sebab semua
gambar yang dicintainya hadir di sekujur tubuhnya.
Dan karena cinta, aku
tetap akan menjadi lelaki pemujamu, lelaki pengagummu. Dan aku akan
terus mengagumimu dengan bisu, walau hanya bisa menatapmu dari balik
tembok yang menghalangi penglihatanku. Yang hanya bisa mempertemukan
tatapan kita di udara itu sudah cukup. Bukankah jika kita saling
cinta, tatapan adalah sama saja dengan perkataan? Perkataan yang
timbul dari jiwa yang teramu merdu, karena di udaralah imaji kita
bisa bersatu. Atau mungkin sekali-kali kau bisa menyengajakan diri
waktu senja merangkak malam, sekedar membeli jagung bakar di emperan
depan rumahmu, aku pasti datang ke situ. Hingga hati kita semakin
tertaut tanpa ada ikatan jelas, namun cintalah yang menjadi penjelas.
Kutunggu kau perempuanku,
kutunggu kau di perempatan yang biasa kau habiskan menggambar senja.
Tags:
puisi
0 komentar