PEKAN YANG MENDEBARKAN
Behelnya
yang menempel di sekujur gigi yang memang tak rata adalah bagian yang
sangat aku ingat dan aku hapal. Sudah tak terhitung tatkala rindu
menghadang aku memandangi gambar-gambarnya. Mulai gambar yang lusuh
karena saking lamanya aku menyimpannya sampai gambar-gambar digital
yang sering ia kirim kepadaku.
Sudah
tak terhitung lamanya aku memandanginya dalam duniaku, dunia kami,
dunia digital. Ya, kami hanya sering bisa bertatap dengan gambar dan
tulisan tanpa bisa saling menyentuh dan mengungkapkan rindu. Tak
terasa sudah empat tahun lamanya kami memendam rindu. Dan sudah cukup
lama pula dada kami bergetar menahan cinta yang tak sempat untuk
dipertemukan sebab jarak membentang.
Kusiur
jarak antara kami seperti matahari yang terbit di pagi menelusup sepi
dan tatkala terbenam di senja yang selalu berarak mendung. Kupahami
makna yang terkandung antara jarak dan cinta yang menghadang antara
kami. Cinta yang mulanya sederhana menjadi kompleks sebab jarak dan
waktu. Menjadi banyak cerita baik goresan masalah ataupun kepedihan
menahan rindu. Tapi antara itu, masih ada kebahagiaan yang kami sesap
bersama, walaupun itu melalui dunia digital, dunianya para pemimpi
tapi tak pernah semu.
“Pagi
sayang, adakah waktu untukmu bertemu tapi bukan dalam jarak
membentang dalam waktu dekat ini?” tulisku di antara lembaran
message layarku.
“Waktu
takkan pernah ada kalau kita tak membuat kesempatan itu ada, mas
tentukan saja waktunya, kita bisa sesuain”
“Beneran?”
“Loh,
lantas mau jawab apa? Aku memang sedang merindu seperti tertahan
bongkahan batu yang tak kuat aku menggendongnya mas”
“Aku
juga sebenarnya, tapi aku takut kamunya yang gak bisa”
“Sudahlah,
tentuin waktu, dua minggu lagi kerjaanku di kantor bisa aku tinggal
barang beberapa hari”
“Oke
oke, bagaimana kalo dua minggu lagi, di hari jumat sampai minggu?”
“Boleh
mas, rencana di mana?”
“Hemmmmm,
mungkin di Malang aja ya, kan suasana sejuk juga, jadi asyik deh
kayake, lagian kan kamu gak pernah ke sana, gimana?”
“oke
oke, boleh, ntar langsung aku order tiket aja, mas nyari
penginapan yang kira-kira cocok
buat kita ya”
Dan
tak terasa, semua akomodasi dan transportasi untuk pertemuan kita
demi mendekatkan sebuah jarak dan menyesap tak semu untuk sebuah
rindu yang lama tak bersua. Sebuah rindu yang selalu butuh waktu
untuk memasangkan dengan rindu yang lain, rindu yang memiliki naluri
yang sama, yang selalu hadir di seonggok buliran hati yang memang tak
pernah semu. Naluri yang selalu mengundang tanya dan menggulung
jawaban, selalu membingungkan tapi itulah cinta.
Dan
siapakah yang bisa memahami naluri? Dan siapa pula yang mau menggilai
dan menunggu waktu? Dialah cinta, yang selalu menelusup dalam hati
antara kami, sebagai anugrah dari Tuhan kepada kami, hingga sampai
sejauh ini kami memahami dan menggilai masing-masing antara kami.
Kami
telah masing-masing menghitung tahun, menghitung bulan percakapan
kami melalui dunia digital. Dan beberapa hari lagi, tak terasa kami
akan bertemu memadu rindu. Bertemu demi sebuah naluri kemagisan
cinta, yang selalu membuncah riuh dalam sudut terpencil hati kami.
Yang selalu memenuhi langit-langit kamar kami dan berlembar-lembar
cerita hidup kami, cerita kami.
Tepat
Jumat pagi, aku berangkat menuju bandara, menjemput cintaku, cinta
yang membuat degup jantungku berubah-ubah beberapa hari kemarin dan
hari ini. Cinta yang membuat pekanku semakin riuh, pekan sebelum
bulan depan, bulan yang penuh rahmat. Dan semoga kerahmatan pula
menjemput dan bersama kami, memadu rindu di penghujung bulan Juni dan
awal bulan memasuki bulan penuh rahmat ini.
Aku
terpekur di terminal kedatangan, memandanginya berbalut kain pink,
dengan sunggingan senyum sepanjang jalan, dan tentu saja, behel
sebagai penanda senyumnya. Dan aku yakin pastilah itu dia, rinduku
yang tertahan sebab jarak, rinduku yang selalu ada bahkan di saat
keterpurukanku ataupun kebahagiaanku menjalani hidup.
“Udah
lama nungguin mas?”
“Enggak
kok, kamu semakin cantik saja seperti gambar-gambar kamu yang kamu
kirim kepadaku”
“Ah,
Mas bisa saja”
Cinta
memang butuh waktu, begitu pula rindu. Tapi aku tak ingin membunuh
waktuku bersamanya hanya untuk berlama-lama di bandara, langsung saja
aku gamit tangan halusnya. Berjalan beriringan menuju mobil untuk
menyegerakan diri menuju Kota Malang, tujuan kami untuk beberapa hari
memadu rindu yang pasti takkan pernah usai.
Sepanjang
perjalanan, demi mengusir kedegupan hati, aku banyak bercerita,
tentang apa saja. Dan dia, lebih banyak mendengar dan kutahu itu
ekspresi kerinduannya, termasuk salah satu yang selalu kuingat saat
rindu menangkapnya. Dan kali ini, kami bertemu muka, menghapus jarak
dan waktu yang kita lalui sebab rindu.
Rinduku
hanya sederhana, tapi selalu melekat dalam buncahan hati liarku. Dan
saat kami bertemu, mata kami selalu bertemu, tanpa ucap tapi kami
telah berbicara antara hati terdalam. Dan di tempat inilah, di kota
Malang, kami terjangkar hebat sebab cinta yang tertahan beberapa saat
kemarin, bulan hari dan tahun yang penuh dengan aroma kesusahan untuk
bersua.
Hatiku
semakin berdebar tak keruan. Seperti melayang tanpa tali, tapi
seonggok pikiranku masih tersadar, bahwa ada rindu di depan mataku,
ada yang sering aku impikan di sebelahku dan ada hati yang kulekati
untuk beberapa tahun ini, telah bersamaku untuk mengeja rindu yang
sering terucap di garis layar singkat kami.
Yah,
bulan ini adalah bulan yang mendebarkan bagi kami, pekan yang sangat
berarti bagi kami. Menuju bulan penuh rahmat, Tuhan telah mengijinkan
kami bersua dan bersama memadu rasa. Secara sederhana tapi memiliki
arti tak mudah untuk dilupakan.
Seperti
pohon yang tumbuh di seberang sungai, selalu terasupi air sungai
tanpa henti, hingga membuat pohon kayu tersebut selalu bersahaja tak
kekurangan suatu apa. Gemericik air sungai itu menambah semangat
untuk hidup, dan terus berlangsung berdampingan bertahun-tahun
bersama. Itulah si pohon tua dan sungai yang menghidupinya. Seperti
itulah kami, selalu memadu rasa baik dalam dunia digital kami, bahkan
dalam cuaca apapun hingga kami bisa bertemu dan memagut pekat rasa
kami yang selalu membuncah riuh dalam debaran bulan dan pekan penuh
rahmat ini.
Kami
semakin membuncah riuh, kami mulai menata masing-masing hati kami,
pendebaran ini semakin mengerucut atas nama cinta. Ya, kami mencintai
antara kami secara sederhana. Sesederhana ucap cinta namun
membingungkan untuk pengejawantahannya. Tapi inilah cinta kami, hanya
kami yang bisa menikmati sendiri, hanya kami yang rasa karena semua
adalah tentang rasa.
Kami
merasa inilah pekan yang sangat berarti bagi kami, setelah tertahan
sekian lama untuk saling mempertemukan rasa. Tertahan sebab jarak
yang membentang jelas dan memaksa kami menahan deburan rindu yang
selalu muncul. Dan hanya satu yang kami pinta kepada Tuhan kami,
menjadikan aku dan dia menjadi “kita”, untuk saling menyusuri
kali yang sudah tak
jernih bersama-sama, dan menjadikan dunia kami lebih indah dari
sebelumnya. Inilah rindu yang butuh waktu dan terbayar sebab sabar,
dalam pekan menuju bulan penuh rahmat dan akan kami jalani dengan
suka cita.
Aku
ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan
kata yang tak sempat diucapkan
kayu
kepada api yang menjadikannya abu
Aku
ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan
isyarat yang tak sempat disampaikan
awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada
--Sapardi
Djoko Damono
0 komentar