KEKOSONGAN DISTRAKSI


Brakkkkk...!!”, kubanting pintu dengan kerasnya. Dalam pikiranku saat itu hanyalah kebencian yang terdistraksi dari dalam hatiku. Aku sudah tak lagi memperdulikannya lagi. Sudah cukup rasanya gelombang ketakjelasan yang singgah bahkan merayap dalam jiwaku.
**************
Beberapa bulan lalu, aku menjalin kasih dengannya, orang yang telah kuimpikan di balik malam-malam jelagaku. Orang yang sangat kuharap akan menjadi pendampingku tanpa syarat, sebab cinta telah merayapi hati kami. Ya merayap dalam relung bisu, dan itu menurutku dan ternyata tidak menurutnya.

Salahkah aku jika terlalu cepat mencintainya? Salahkah aku jika aku terlalu serius menanggapi ocehan-ocehan dan curhatan-curhatannya? Bukankah cinta hadir tanpa syarat dan sebab, dan orang yang mencintai menjadi tak berpikir logis kenapa dia bisa mencintai?

Obrolan – obrolan itu begitu menyenangkan dan sangat membahagiakanku. Aku menjadi tergoda karenanya, tapi aku bukanlah wanita yang mudah jatuh cinta. Dan akan dia, yang aku tahu dia tak menjalin cinta dengan wanita lain. Paling tidak, itu yang aku tangkap dari pembicaraan-pembicaraan kita, dan dia pun juga tak pernah mengatakan hal itu padaku. Apalagi aku pernah menangkap walpaper di smartphone yang dia pegang, bukanlah seorang wanita, tapi gambar dia dengan seorang perempuan tua yang kuduga adalah ibunya.

Menduga, ya itulah yang selama ini kulakukan. Menduga tanpa sempat aku menanyakan padanya. Menduga tanpa aku pernah meminta gulungan jawaban padanya. Aku mungkin terlalu terlena dengan perhatian dan semuanya tentangnya. Tatapannya menjadi hal tak biasa bagiku tiap hari, suaranya yang agak serak, menjadi sarapan pagiku tiap hari. Aku menjadi tak berdaya, dan aku mengkotaki diriku dengan ekspektasi semu yang saat itu aku menganggapnya serius.


Memang dia menjadi pilihanku, tapi kesalahanku adalah aku tak memiliki segudang pilihan. Bahkan aku tak pernah mencoba memiliki pilihan lain. Aku hanya berkutat dengan lembar-lembar kemagisannya, kewibawaannya dan sesuatu yang tak pernah aku temui pada pria lain, perhatian yang selalu bertubi-tubi padaku. Aku tak pernah mencoba alternatif pilihan, karena saat itu aku sangat-sangat mendambakan kata cinta yang muncul dari kedua bibirnya. Aku hanya menunggu karena cinta memang butuh waktu.

Apakah aku terlalu murahan meladeni perasaanku? Berusaha menyamai nalurinya dengan naluriku? Ataukah aku seorang wanita kesepian dan haus perhatian yang mendambakan sebuah cawan kehangatan cinta dari seorang laki-laki?

Tidakkkkk..., aku bukanlah wanita murahan. Aku masih memiliki logika yang lebat yang bisa meluruskan jalannya agar tak terhamba oleh yang namanya cinta. Hanya saja waktu itu aku terlena. Terlena ingin menjadikan aku dan dia menjadi kita. Terlena akan mimpi yang menjadi tak jelas saat kedatangannya sore ini.

Ngapain kamu kesini?”sahutku ketus. Seenaknya saja dia datang kembali setelah berbulan-bulan lamanya menghilang tanpa pesan. Dan beberapa minggu lalu, kulihat akun facebooknya yang berubah dengan gambar dirinya dengan seorang wanita berjilbab, dan aku sangat-sangat mengenalinya. Dan status keduanya pun tak jauh dari aroma cinta, meleburkan perasaanku seperti tertumbuk hujan meteor dari segala arah.

Kamu kok gak mempersilahkan aku masuk dulu untuk duduk dan menjelaskan padamu?”, katanya nyaring.
Ah buat apa? Buat menambahi luka dalamku?”

Sejurus kulihat ditangannya, selembar kertas hijau yang siapapun itu bisa melihat adalah sebuah undangan. Undangan yang akhirnya sangat kubenci dan ingin rasanya kusobek sampai terlumat seperti bubur sumsum pagiku.

Katakan cepat apa keperluanmu kesini, waktuku tak banyak”, sahutku dan tentu saja dengan penyembunyian luka hati di depannya. Aku tak ingin dia tahu remuk redam diriku, karena aku juga tak ingin dia merasa laki-laki yang istimewa.

Jangan kau tambah temarammu dengan amarahmu, Rey”, dengan nada yang menelusup antara dinding-dinding tembok hatiku. Itulah yang kusuka darimu, kesabaranmu mengatur nafas, hingga emosimu tak pernah menjadi raja di setiap perkataanmu.

Aku bukan ingin memamerkan padamu, tapi memang inilah yang kutunggu dalam hidupku, wanita yang sudah sekian lama aku tunggu”
Ah, pendiksianku padamu berakhir, kamu sama saja dengan lelaki yang pernah aku temui, menghitamkan hatiku!!...”
Hei Rey, sadarlah, apa yang kita lakukan kemarin bukan cinta, tapi perhatian biasa, dan aku memperhatikanmu sebagai seorang sahabat”
Ah sudahlah, aku tak mau berdebat karena aku juga bukan seorang pemaksa”
Tolong kau terima dulu surat undanganku ini. Kedatanganmu sangat aku tunggu nanti, sebagai seorang sahabat yang turut bahagia atas kebahagiaanku”
Seenaknya saja kamu!!!”, segera aku beranjak dari teras depan rumahku, seperti gelap rasanya, dan tanpa kupeduli, aku segera berlari masuk kamar, setelah aku banting pintu depan dengan keras, tanda aku sakit hati.

Sembari kupicingkan mata di balik jendela, aku lihat dia menaruh surat itu di atas meja kecil depan rumahku, dan sambil berlalu meninggalkanku, meninggalkan rumahku dan aku berjanji, mulai hari ini aku harus lupakan ia.

Sambil menangis tercekat, kulangkah kaki masuk kamarku, tak ingin kuratapi nasib cintaku, karena memang aku sudah tersadar bahwa aku terlalu cepat serius, cepat menduga. Dan aku terlalu cepat jatuh cinta.

Cintaku telah berpangkal padanya, dan harus segera aku hapus untuk torehan cinta yang lain. Aku harus belajar dan mencoba mencari pilihan lain. Aku harus sadar! Janjiku pada diriku sendiri. Aku harus bisa melupakannya. Dan tidak dicintainya bukanlah seorang yang kalah. Karena cinta bukanlah sebuah perlombaan. Cinta adalah sebuah pilihan dan sebuah pendiksian positif tentang rasa.

Distraksiku tentangnya mulai aku hapus, aku bebat dalam alam kenangan, dan tak perlu aku buka lagi. Dan sebagai seorang yang bijak, aku harus datang di pernikahannya. Walaupun aku sendiri tak tahu, akan tahankah mataku melihat persandingan itu.

Dia adalah dia dan aku adalah aku. Aku mulai menata diri, melalui kehidupan kita masing-masing. Aku dan dia berbeda, dan mimpi untuk menjadi kita haruslah segera sirna. Aku harus menjadi sesederhana seperti sebelum aku mengenalnya. Tak mudah memang untuk membalikkan cinta, tapi bukankah ini zamannya bolak-balik kehidupan? Aku yakin pasti bisa melupainya, seperti kayu yang terabu oleh api, tanpa sempat terucap kata perpisahan, kenangan tentangnya harus segera menjadi abu. Laksana awan hitam yang tersapu oleh hujan senja, aku harus segera menyapunya tanpa tersisa

Dan aku harus Legowo, titik....!!! pekikku pada diriku sendiri.

Aku takkan trauma akan kisah cinta, aku tetap akan belajar mencintai yang lain, dan cinta memang butuh waktu.

Waktu mengenali seseorang lain, waktu memahami orang lain, dan waktu untuk tak gegabah mengartikan sebuah perhatian.

Dan aku memang butuh Waktu.

 Diterbitkan oleh Penerbit Meta Kata di buku :

Share:

0 komentar