CINTA TAK FANA


Seperti biasa, aku terjaga di pagi hari, tatkala mentari menyinari sudut kamarku, sendiri dan tak pernah bertepi. Entah aku sendiri lupa, sudah berapa lama aku tersudut dalam kehidupan yang dinamakan Bujang. Ya, aku masih sendiri saja, belum kutemukan sesosok matahari pengontrol suhu panasku. Dan belum jua kutemukan dengan siapa aku menikmati senja dan bergumul dalam kesepian malam.

Jam masih menunjukkan pukul 07.00, sejurus aku duduk di tepian kasurku. Yang sudah beberapa tahun ini kurapikan sendiri, aku nikmati tidurku sendiri, dan masih tetap sendiri. Iseng – iseng kubuka layar messageku dan seperti biasa, BBM dari si pengukur jalanan, divisi aspal, gopels muncul tiap pagi. Ya, gopels ini temanku, nama aslinya Yudi. Kami memang selalu memanggil dengan nama udara, nama jalanan. Aku sendiri nama asliku Doni, hanya saja nama jalanananku gak jauh berbeda, Inod, itu saja

Nod, bangun, jemput cintamu di jalanan....”, katanya. Segera kubalas, “cinta jalanan? Segera meluncur ke lokasi Ndan”

Segera kupercepat mandiku, menyiapkan segala sesuatunya untuk hari ini, langsung datang ke tempat biasa, untuk mengkonsep beberapa hal tentang pekerjaan. Ya pekerjaan kami hanyalah buruh proyek, semua ide, konsep dan proses monitoring kami lakukan di jalan, seringnya di warung kopi tempat mangkal kesukaan kami.

Wah, sudah segar rupanya, kopi hitam kesukaan kita sudah siap Gan, hehehhehe”, sahutnya. Yah, udah beberapa tahun belakangan aku sering menikmati aroma kopi hitam, demi sebuah pekerjaan yang selalu menuntutku harus kuat untuk jarang memejamkan mata. Kami berdua memang penikmat kopi, bahkan kami dengan pede menyebut diri kami Coffee Lovers.

Setelah berbasa – basi dan mengirim email untuk beberapa client, mulailah kami dengan obrolan santai, obrolan warung kopi sambil standby menunggu balasan email serta panggilan dari beberapa user yang memang sudah kami jadwalkan hari ini.

Nod, kamu kok seperti kecapekan aja hari ini? Lagi HBW ya?”, tanya si gopels.
Ah, mampuslah aku, kemarin ditanyain bapak, kapan aku nikah, dan ini bukan pertama kali”, sahutku.
Kamu sih, pake pilih – pilih, tuh cewek – cewek banyak, masa gak ada satupun yang masuk di hatimu?”

Aku sih senyum – senyum kecil aja menyembunyikan kegalauanku. Ya, aku sebenarnya bukan benar – benar koboi, yang menganggap semua hal sepele. Aku tetap memikirkan pendamping, aku merindukan sesosok wanita yang bisa menjadi curahan hati saat pekerjaan ada masalah, saat aku mulai membuncah tak jelas, dan sebagai semangatku untuk suatu target pekerjaan.

Sejurus temanku itu memberikan sederet nomor PIN, yah aku mau dia kenalin kepada sahabatnya, yang juga katanya mencari pendamping hidup. Tak selang beberapa lama kami saling bertukar sapa melalui pesan singkat. Yah, dimulai hari itu, aku yang mengenali dengan biasa saja, dan ingin menjadi terbiasa tak sepi lagi.

*****************

Tak Terasa, berganti minggu, berganti bulan, aku sudah mengenalnya. Yah, nama gak begitu penting rasanya, aku biasa memanggilnya “Meksiko” dan dia memanggilku “Sergio”. Tak pernah kami lewati pagi tanpa saling bertukar kata lewat layar singkat. Dan sudah tak pernah lagi pagi yang tak pernah kurasa peluk embun pagi, pagi yang hanya berteman selimut lusuh tak berpenghuni. Kini pagiku semakin tak terasa dingin, pagi yang selalu buncah riuh sebab tiap hari kami saling memeluk layar kami. Pagi yang membuatku selalu melirik layar singkatku dan menunggu atau mengirim pesan singkat, dari dan kepada Meksikoku.

Aku bukan baru mengenalnya. Sudah cukup lama kususuri hari berbagi pesan dengannya. Sudah cukup lama aku mengenalnya. Dulu yang hanya biasa saja, mengagumi tapi tak menggilainya. Hanya seperti antara sopir angkot dan penumpang, biasa saja. Hanya antara penjual tahu di pasar, selesai seperti biasa.

Dan aku mulai kagum padanya, Meksikoku. Tapi kekaguman ini kurasa lain, lain seperti biasanya, tapi tetap sederhana. Pembicaraan – pembicaran kita hanya biasa saja, baik offline maupun melalui pesan BBM. Tanpa perlu dimaknai, mulai pembicaraan manis, tentang kehidupan kita, tentang proses kita bahkan tentang cinta kita, masing – masing. Tanpa perlu dimaknai dan tak perlu juga digarisi dengan pikiran cinta, karena memang biasa saja.

Tapi, kehadiranmu mencipta perasaan tak biasa. Tapi aku tak gegabah ini bernama cinta. Tanpa rangkaian obrolan di BBM kita tiap hari, seperti ada yang kurang. Hingga aku tak sadar ada perasaan aneh jikalau aku tak melirik handphoneku, tiap hari. Tapi hatiku mulai terbuka lebar, bahwa kamu tetaplah seperti biasa, karena aku tak mungkin membuat riuh sudut terpencil otakku denganmu. Karena kita tetap biasa saja dan akan menjadi terbiasa karena kebiasaan itu.

Tiap hari, tiap waktu, kadang aku mulai, kadang kamu memulai, kita merangkai kata seperti biasa. Sampai akhirnya kita tahu kesukaan kita masing – masing. Bahkan aku lebih tahu kesukaanmu daripada kau tahu kesukaanku. Kala sedih, kita saling bercerita, kala suka kita juga saling riuh. Tapi tetap aku mau seperti biasa saja, karena tak mungkin kita bicara cinta, atau aku yang menyatakan cinta dengan gegabah.

Pelan – pelan aku merasa ada sesuatu yang aneh dalam hatiku. Terkadang aku ingin luapkan itu kepadamu, sahabat ceritaku. Tapi tetap takkan kulakukan saat ini. Aku tetap tersenyum, mengembang dan mengambang dalam diam. Dan keadaan ini mulai menyeretku dalam pergolakan aneh. Pergolakan cinta tapi tak membuncah. Terkadang pikiranku berkelana di pusat dasar imaji. Berkelana untuk memahamimu, dan tentu saja kamu tak merasakan itu.

**********************

Nod... Inod bangun”, pagi – pagi sekali kamu muncul di layar pesan singkatku.
Siap Gan, hehehhe”, balasku.
Udah bangun?”, balasmu kemudian, “Udah lah, eh ntar malem kita jalan ya?” balasku singkat
Hah, malem minggu loh …. “, sahutmu dengan tulisan lucu.
hehehe, iya dunk....”
Oke Oke, jam 7an ya.... jemput aku seperti biasa”, bbm mu terakhir pagi itu.

Seperti biasa, hari sabtu, kerjaanku gak banyak – banyak dari si Bos Gopels, hari itu aku pulang cepat. Jam 2 siang aku sudah di rumah. Langsung saja aku tidur sambil menunggu waktu kencan malam nanti.
Tak terasa aku terbangun saat senja menjelang. Saat rintik hujan mulai membasahi teras rumahku, lebih tepatnya rumah orang tuaku. Ah, aku jadi bingung aja, kalau gak jadi karena hujan.
Tak terasa sudah hampir setengah tujuh, dan dewi fortuna ternyata berada di pihakku. Hujan seketika berhenti, secepat kilat aku message Meksikoku dan berangkat menjemputnya.

Dag dig dug rasanya. Baru kali ini aku datang menjemputnya, ke rumahnya bertemu bapak ibunya. Kemarin – kemarin kita hanya janjian bertemu di tempat yang kita sepakati, tak pernah dia mengijinkan aku menjemput di rumahnya. Namun kali ini beda, aku sendiri tak menyangka pas siang tadi dia message mengijinkan aku untuk menjemputnya.

Aku tekan bel di pagar rumahnya, tak lama pintu pun terbuka, dan bukan Meksikoku, tapi ibunya yang bukain pintu. Setelah aku perkenalkan diri, akhirnya aku dipersilahkan masuk. Hatiku berkata, satu rintangan yang membuat hati bergetar takut telah terlewati. Ya, aku memang sudah lama tak merasakan pacaran, dan ini aku bukan pacaran, tapi sudah ketemu orang tuanya, khususnya bapak ibu.

Tak berapa lama, dia keluar dan langsung saja aku pamit kepada kedua orang tuanya untuk mengajaknya keluar. Ya, malam ini aku ada rencana yang sudah aku siapkan. Aku ingin menyatakan cinta padanya, karena aku sudah yakin dengannya. Sinyal – sinyal cinta kami saling berpagut di udara maya dan udara tak semu. Aku sudah tak sabar agar sudah bukan aku dia lagi, tapi kita. Kita yang menjadi satu sebab cinta. Kita yang selalu mengarungi bersama suka duka kehidupan. Dan kita yang saling bercengkrama saat pagi muncul sampe malam menjelang pagi kembali.

Aku pacu malam itu motorku yang biasa saja, tak terburu – buru, juga tak pelan. Kami menuju tempat favorit kami, kafe corner. Kafe tempat pertama kami bertemu, kafe yang menjual eskrim kesukaan kami, dan kafe dengan suasana yang romantis dan kami ngerasa nyaman di situ.

Setelah kami pesan menu, mulailah kami ngobrol – ngobrol ringan. Mulai cerita pekerjaan kami masing – masing hari itu, sampai letupan - letupan kecil di tempat kerjaan kami. Yah, kami memang sudah akrab, seperti sudah lama mengenal satu sama lain.

Sejurus kami terdiam kehabisan kata. Aku dan dia sudah tak mampu lagi bercerita, sepertinya kami malam itu terbuai akan keelokan kami satu sama lain.

Meksikoku, boleh aku ngomong hal serius?”

Sudahlah Sergio, ngomong aja pake nanya....”, sahutnya ringan.

Aku mau jujur sama kamu. Pasti kamu ngerasain apa yang sudah kita lewati beberapa bulan kemarin. Aku langsung saja, aku suka kamu, dan aku gak ingin kamu hanya jadi pacarku, tapi jadi pendampingku kelak”

Tiba – tiba dia menatapku dengan nanar, dan bisa kulihat, bulir mata indah itu telah terbasahi sesuatu yang membuatku menjadi kosong. Bulir mata indah itu menjadi bening berair, dan aku spontan merangkulnya dalam pelukku. Dia berikan dirinya untuk aku peluk, aku belai rambutnya dengan semangat kelakianku, semangat yang aku pikir dia merasa terayomi.

Maafkan aku bila menyinggungmu, kamu boleh kok menolak cintaku, dan aku masih tetap menjadi temanmu, sahabatmu, yang tetap mau mendengar ceritamu”.

Bukan begitu mas, aku bahagia, aku haru karena ini yang memang aku tunggu. Aku mau menjadi pendampingmu kelak, mulai saat ini sampai kita sama – sama dipangil Tuhan”

Hah? Kamu benar – benar menerimaku?”, tertegun aku beberapa saat.

Iya mas, gak jadi ta?”, candamu

Ah, kamu ini masih becanda aja, udah usap air matamu, mulai hari ini kita bersama dan saling mengingatkan ya “, sahutku.

Beberapa saat kami diam membisu, sambil tersenyum masing – masing dari kita. Dan tak sadar pula waktu telah melewati batas, sudah jam 9 malam. Dan hanya jam 9 malam batas kita, ijin dari orang tuanya. Dan jam 9 malamlah aku harus mengantarkan pulang.

Setelah aku bayar di meja kasir, aku mulai berani menggamit tangan halusnya, aku antar dia sampai depan rumahnya, dan aku pamitkan kembali kepada kedua orang tuanya.

Kali ini bapak yang menunggu beranda rumah. Setelah basa basi sebentar, aku pamit pulang, hatiku sudah tak semu, selama perjalanan pulang aku bahagia, dan berharap bermimpi tentang Meksikoku malam nanti. Malam yang takkan terasa panjang lagi. Malam yang selalu akan berwarna sebab hadirnya yang mencipta malam yang tak biasa. Malam yang akan selalu menjadi ceritaku, ceritanya dan cerita kita.

*****************

Tak terasa sudah dua bulan sejak pernyataan cintaku padanya. Sudah dua bulan kami merasakan cinta yang biasa menjadi terbiasa. Dan aku menjadi tak biasa jika seharian tak bertukar tulisan lewat pesan singkat. Dan malamku akan menjadi sepi, jika kita tak saling mengantar tidur. Akhir pekan kita juga selalu kita isi bersama, menghilangkan penat pekerjaan yang kita alami seminggu penuh kemarin.

Tak terasa aku dan kamu sudah mulai bersama dalam rasa. Aku dan kamu sudah menjadi kita. Kita yang selalu mengalami jemu dan terang. Kita yang saling mengartikan tatapan. Kita yang selalu bertemu dalam pandangan udara mentari, untuk menyatukan asa dan rasa. Dan kita yang selalu tak pernah bisu dalam cinta.

Dan malam ini, aku menjemput cintaku, untuk saling mendiksikan malam yang selalu kami lalui bersama. Dan malam ini juga, tanpa rencana, tanpa sebab, aku duduk saat menjemputnya, ditemui kedua orang tuanya. Ditemui dalam keadaan seperti sudah direncanakan sebelumnya.

Mau jalan kemana nak Doni?”
cuma di sekitaran sini aja bu, paling ya ke kedai eskrim”
Oya nak, kamu kurangi saja bertemu anakku, kamu fokus sama pekerjaanmu saja, sampai kamu bisa berdiri tegak dan bisa menjadikan modalmu berumah tangga”
Maksudnya bu?”
Saya kira kamu sudah mengerti, Cinta itu tak hanya perasaan nak, tapi juga logika”

Terdegup jantungku mendengar itu, “Ya bu, saya tahu maksudnya, tapi kan gak mungkin saya memutus sillaturahmi, saya pasti datang kembali seandainya saya sudah yakin memberi kebahagiaan menurut versi ibu, karena saya tak pernah main – main dengan anak ibu, tapi mohon ijinkan malam ini aku mengajak anak ibu jalan – jalan”

Ya silahkan saja, seperti biasa jangan terlalu malam sampai rumah”

Tak lama kemudian, Meksikoku keluar, dan dari sorot matanya, dari raut mukanya yang biasa aku kagumi, aku tahu dia sedang muram. Lebih baik segera aku ajak keluar daripada kemuramannya menodai kecantikannya yang selama ini aku kagumi.

Setelah aku pamit, segera aku pacu motorku secepatnya, agar segera sampai di kedai langganan kami. Tak biasa juga dia memeluk pinggangku dengan erat, seperti tak mau lepas. Sepanjang perjalanan aku dengar isak tangisnya, aku lihat dari kaca spion bulir – bulir itu jatuh. Dan aku yang masih merasa seperti mimpi, bingung sebab apa hingga orang tuanya berkata seperti itu. Dengan kewenangannya, mereka menentukan kebahagiaan dari kaca mata mereka sendiri. Kebahagiaan yang merupakan milik kami, milikku dan milik dia, Meksikoku.

Setelah kami memesan es krim kesukaan kami, tanpa basa basi, sambil kupegang erat tangannya, aku meminta penjelasan. Hal apa yang terjadi terhadap bapak ibunya hingga memberi tembok besar sebesar tembok china hingga keinginan pertemuanku dengannya mulai esok hari akan terhalang.

Hapus air matamu, masalah takkan habis dengan air mata”

Iya mas, aku mohon maaf dengan seluruh jiwaku, aku juga kaget atas keputusan ayah ibuku”

Aku hanya ingin tahu, sebab apa hingga keputusannya seperti itu?”

Beberapa hari lalu seorang teman orang tuaku mengenalmu dan mengetahui kalau kita dekat. Dari informasi itulah, latar belakangmu diketahui orang tuamu. Katakan mas, ada sesuatu yang tak pernah kau ceritakan padaku”

Tentang apa? Aku sudah ceritakan padamu keluargaku, pekerjaanku, tidak ada yang aku tutupi”
Ibu mengetahui pekerjaanmu sebelum ini, dan aku tak bisa menjawabnya karena aku tak tahu”

Aku bingung mendengar itu, karena aku pikir itu masa lalu. Masa lalu yang tak perlu kubuka, masa lalu yang hanya menjadi pelajaran berharga hidupku. Masa lalu yang menjadikanku lebih baik dari kemarin, dan masa lalu yang cukup hanya aku saja yang mengetahuinya.

Oh, aku tahu arah pembicaraan ini. Satu yang harus kamu mengerti, bukan aku menutupinya. Itu sudah aku anggap angin kemarin sore, yang tak perlu kuingat. Setiap orang di dunia ini pasti pernah mengalami salah, itulah proses. Salah inilah yang menyebabkan kita menjadi benar”

Mas, kamu juga harus tahu, aku takkan berhenti mencintaimu seperti kamu yang juga mencintaiku tanpa henti. Tapi aku tetap dalam posisi anak ayah ibuku. Aku harus bisa menjawab apapun yang mereka narasikan tentang kamu. Dan aku tetap akan memilihmu dengan syarat kamu juga bisa aku andalkan di depan. Bisa menjadi imamku mulai saat ini walaupun kita belum menikah. Bisa berlaku bijak dan penjelasan darimu adalah awal dari kebijakanmu”.

Beberapa menit lamanya kami terdiam. Pikiran kami masing – masing terasuki rencana dan strategi mengatasi masalah ini. Kami membisu, tapi kami tak diam. Lidah kami kelu, tapi kami sedang melayang, di udara mata kami bertemu, mengisyaratkan bahwa kami takkan berhenti berjuang. Di udara jua, hati kami berlabuh, dengan isyarat hati dan semangat karena cinta, kami bertatap nanar, dalam malam yang dingin dan sunyi namun ramai tak berjelaga.

**************************

pagi ini, masih dalam dingin yang sama. Dingin yang menelusuk dalam lembar selimut tebalku. Pagi yang tetap dengan embun yang sama, menetes tanpa sela di dedaunan depan jendela kamarku. Hanya satu perbedaan pagi ini, aku semakin bersemangat meretas penghalang. Seperti mendapat peluru kaliber 45, aku melesat bangun dari ranjang kesayanganku. Melesat ingin segera menggapai cita – cita kami, aku dan dia yang berharap untuk segera menjadi kita.

Dan masih kususuri hari, dengan semangat yang semakin memuncak. Tak terasa tiga bulan lamanya kami hanya bersapa lewat layar singkat. Sesekali kami bertemu menjanji malam ataupun senja. Sesekali rindu kami lewatkan hanya dengan pangkuan malam yang singkat. Dan sesekali pula kami saling mengeja cinta, demi janji kami untuk tetap saling kontak agar cinta takkan pudar. Demi janjiku pada orang tuanya, bahwa aku bisa membahagiakan dia menurut ukuran mereka, bukan ukuran kami.

Dan di tiga bulan inilah, aku mulai berani menyusuri teras rumahnya. Ya, mulai berani, namun masih belum menemukan waktu yang tepat. Aku sudah berencana untuk bertamu menemui ayah ibunya. Dan aku menginginkan sebuah kejutan untuk Meksikoku. Kejutan bahwa aku menambah bulir cinta di labirin hatinya dengan menunjukkan kelakianku. Menunjukkan keseriusanku demi sebuah sebutan “kita”.

Sejak senja merangkak malam, aku memikirkan waktu yang tepat bertamu dan merencanakan apa yang harus aku utarakan. Ya, aku sudah merasa siap untuk membahagiakan Meksikoku menurut ukuran mereka. Sekali lagi, menurut ukuran orang tuanya, bukan ukuran kami.

Pink …. “, di sela malam aku mencoba membunuh rinduku dengan layar singkat lagi. Ah, aku benar – benar rindu tak bersyarat malam ini. Seperti jelaga sebab sekam terkurung, aku sangat merindukannya. Bahkan tulisan di layarku saja, cukup membunuh sepiku yang tak berujung sebab rindu yang tertahan.

Malem sayang...” balasnya.
Udah tidur belom?” ketikku pelan di layar handphoneku.
Aku terbangun nih, jadi gak bisa tidur lagi”, sahut Meksikoku
Kok bisa begitu? Emang ada yang nakutin di rumahmu?”
Enggak kok, cuman gak tahu, aq seperti ada pikiran, tapi gak tau mikirin apa”
udah ah, buang jauh – jauh, kamu coba tidur lagi aja”
Nggak, aku cmn beberapa hari ini mikiran kita, bingung aja kenapa ini terjadi. Kebahagiaan yang seharusnya aku yang nentuin, direnggut sedemikian rupa akan sesuatu yang bernama orang tua”

Udahlah beib, kita sudah berjanji takkan berhenti berjuang, dalam waktu dekat aku pasti bertamu ke rumahmu, kepada kedua orang tuamu. Aku rasa amunisi cintaku sudah cukup untuk aku bebat di depan orang tuamu, sebagai laki-laki tentunya”

Hah? Maksudmu beib?”

Aku sudah cukup percaya diri dengan kemampuanku, kemampuan kita. Sebenarnya aku ingin surprise aja sama kamu, tapi agar kamu semangat lagi, aku harus ngasih tau kamu sebelumnya”

Ya Nod, hehhehe, aku percaya kamu, aku mengandalkanmu, karena aku sangat sangat mencintaimu”

hehehe, ya wes bobok sana, besok kamu masuk pagi, aku juga kerjaan di project penuuuh banget. Met bobok ya sayang...”
ya ya, semoga mimpi kita terkabul”
Amin ya sayang”, sejurus segera aku taruh Handphoneku sambil aku isi dayanya. Namun, kucoba memicingkan mata, tetap rinduku masih saja menggumpal. Membuncah dalam labirin malam, tapi tak liar. Aku sendiri jadi susah memejamkan mata untuk menikmati malam dengan membaringkan pikiran dan hati dengan tubuh yang membujur tak kaku di ranjang kesayanganku.

Tak sadar sudah dua jam aku membalik-balikkan tubuhku. Sudah dua jam pula aku mencoba memejamkan mata yang memang tak kantuk. Aku lirik, jam masih menunjukkan 2 dinihari. Ah, aku berpikir, daripada aku semakin gelisah tak jelas, segera aku bangkit mengambil air wudu. Aku ingin berdoa pada Tuhanku, yang memenuhi malam dan pagiku serta siang dan senjaku. Aku ingin mendekat, aku ingin meminta. Ya hanya meminta yang aku bisa, meminta tercipta selokan ataupun sungai, agar perasaan dan cita-cita kami terkabul menuju danau yang tenang tak riak. Aku tak ingin liar, karena ini bukanlah akhir perjuangan.

Setelah bermunajat beberapa waktu, kupaksa mataku untuk terpejam, dan sukses. Tak terasa jam bekerku berbunyi jam 5 pagi. Saat embun menelisik dingin di sela selimutku. Melewati celah jendela kamarku yang memang tak pernah rapat. Segera aku bangun, sambil kuusap-usap mataku, kududuk di tepi ranjangku. Dan tentu saja, hal yang pertama aku lihat, foto Meksikoku, yang beberapa bulan ini mengisi hariku, bahkan sudut terpencil otakku.

Dan tiba-tiba, semangatku untuk bertamu ke rumahnya adalah hari ini. Aku sendiri tidak tahu, begitu saja muncul dalam hatiku. Aku yang ingin sesegera mungkin mengakhiri ini, mengakhiri petualangan cinta yang takkan kunjung usai jika kita tak membuat kesempatan itu ada.

Seperti ahli sejarah, aku mengingat-ingat apa yang kami lalui bersama. Mulai sejak perkenalan yang disengaja, terbiasa berkomunikasi melalui layar singkat. Hujan-hujan di pematang sawah sebab motorku yang macet, aku parkir aja di tepi jalan. Saat kami benar-benar kesulitan dana karena ada pendanaanku yang ditipu temanku. Dan dia mensupportku, dan tentu saja pertolongan si Bosku yang juga tak melupakanku. Dan satu yang sangat aku ingat, romantisnya tepi laut di pelabuhan kotaku sebagai saksi kami pernah menghabiskan senja hingga malam di sana. Sudah tak terhitung rasanya aku kecup keningnya, sebagai tanda cintaku takkan pernah kunjung padam untuknya. Bahkan kamipun pernah menyewa perahu nelayan hanya ingin menikmati senja di tengah laut. Ah, sudah banyak rasanya yang kami lalui, dan aku takkan mundur menjemput cintaku selangkah pun, kecuali aku dipanggil Tuhan sang pemilik semesta.

Pernah suatu sore, kami berjalan menyusuri jalan, sepanjang kami melangkah, selama waktu berputar untuk kami bunuh bersama. Senja mulai merangkak di pelukan malam, namun kerinduan kami seperti takkan pernah pudar. Sepanjang jalan kami bergandeng bersama, mempertemukan dua jemari atas nama cinta. Tak peduli lalu lalang orang sekitar kami, tak peduli pula sudah seberapa jauh kami melangkah, yang kami tahu, kami bersatu atas nama cinta. Kami bersama atas nama cinta yang kamipun bukan tak pernah meminta pada Tuhan, tapi anugerah dari Tuhan yang sangat kami syukuri.

Tak sadar sudah sejam lamanya aku seperti orang tak waras. Senyum – senyum sendiri mengingat segalanya tentang cintaku, cinta kami. Dan tak sadar pula, hari ini kamu tumben tak menyapaku, aku juga lupa tak mengucapkan selamat pagi kepadamu. Ah, ada apa gerangan? Pikiranku berkecamuk bukan tanpa sebab. Karena kami sama – sama tak pernah mempermasalahkan siapa yang mulai bersapa di pagi hari, tapi yang membuat aku heran, kami sama – sama tak memulainya.

Ah, daripada aku semakin tak waras, aku bangkit dari ranjangku untuk mandi dan sebagainya, karena hari ini aku mau ijin setengah hari. Karena sore nanti aku berencana datang ke rumah Meksikoku.

Tak terasa hari ini berlalu cepat karena kesibukanku. Dan kamipun tetap saling tak bertukar kabar. Aku pikir karena kesibukan masing – masing kami saja. Tepat pukul 3 sore, tatkala senja malu – malu mulai mempertunjukkan dirinya, tatkala aroma sejuk mengalir di antara gemelisik daun dan aspal jalanan kotaku. Tanpa basa – basi aku kabari dia.
Say... ayah ibu di rumah?”
dan tidak langsung di jawab, selang beberapa menit aku menerima telpon dari nomor kantornya.
Mas nelpon aku? HP ada di rumah, aku dikabari orang rumah” terdengar suara basah dari ujung telepon.
Ya sayang, aku bingung aja seharian kita gak kabar-kabaran sama sekali, aku sendiri juga sibuk banget hari ini, aku pikir kamupun begitu”
Ya mas, banyak berkas yang harus diselesaikan di kantor”
Langsung saja ya sayang, kamu pulang jam berapa? Aku mau menemui kedua orang tuamu” tukasku.
Hah, kok mendadak mas? Aku pulang jam 5 sore, lah mas mau jam brp ke rumah?”
Gak mendadak sebenare, aku mau ngabari kamu kemarin sama tadi pagi tapi ya susah. Bisa dipercepat pulangmu? Lanjutin setelah aku ke rumahmu aja kerjaanmu,atau kerjain di rumahmu, gmn?ayah ibu di rumah kan?”
ya ya mas, setengah jam lagi aja deh mas berangkat, aku juga paling udah di rumah, ayah ibu ada di rumah kok”, jawabmu
dan setelah berbasa basi sebentar, kami langsung tutup gagang telepon, untuk segera mungkin sampai di rumah membahas rencana kami dengan kedua orang tuanya.

Tatkala senja sudah mulai merangkak pelan, aku sampai depan gerbang rumahnya. Langsung saja aku tekan bel, dan selang Meksikoku bukain pintu.
Mas masuk yok, langsung saja, aku sudah ngomong sama bapak ibu”
Yap, lebih cepat memang lebih baik”, sambil aku sungging senyumku.

Setelah aku duduk di kursi tamu, dan beberapa saat kemudian Meksikoku membawa teh dalam nampan dan aku pun langsung meminumnya setelah itu, ayah ibunya menerima pertamuanku senja ini.
Tumben ke sini nak dony? Udah lama gak kesini ya...” sahut ibunya memulai pembicaraan. Dan seperti biasa, ayahnya hanya diam, tanda semuanya diwakili oleh ibunya, calon mertuaku jika Tuhan mengijinkan.

Iya bu, sesuai janjiku dulu, aku menata hidupku untuk persiapanku ingin membahagiakan anak ibu, dalam ikatan sebuah pernikahan. Kiranya ayah ibu mengijinkan, orang tuaku segera datang melamar” jawabku pelan dan tegas.

Seperti yang ibu bilang dulu nak, pertanyaan ibu masih sama, apakah kamu secara materi siap berumah tangga? Ibu belum melihat perubahanmu, kamu seperti yang dulu saja”.

Mama ini kok bikin capek aku saja sih, mas doni ini sudah bekerja, dan aku pun mau berjuang bersama, mama kok materi saja yang mama pikir”, sahutmu cepat dengan nada serak menahan sedih.
Kamu ini, ingatlah, rumah nomor satu, kalian setelah berumah tangga membutuhkan itu, jadi ibu tak mau berbasa-basi lagi, kalau doni bisa menunjukkan ibu kesiapan itu, baru ibu mengijinkan. Kalau tidak, biar kamu menikah sama pria pilihan ibu, titik!”

Aku terbengong-bengong saja menyaksikan perdebatan itu, dan seperti tak terpengaruh, ayahnya tetap diam mematung, sepertinya semuanya memang dikendalikan sang ibu.

Tidak ma, kami mempunyai definisi kebahagiaan sendiri”, sahutmu cepat.
Sudah ya bu, aku pikir nanti semakin larut saja perdebatan ini, saya mohon maaf jikalau atas kedatanganku sore ini membuat tak nyaman suasana rumah. Bapak ibu juga harus tahu, aku laki-laki, dan aku pasti berusaha sekuat tenaga mendapatkan untuk membahagiakan anak ibu, cukup sekian saja, aku mohon pamit dan sekali lagi mohon maaf atas semuanya”, jawabku datar, dan langsung berdiri salaman dengan kedua orang tua Meksikoku.

Dalam perjalanan pulang aku mampir ke warung kopi tepi jalan untuk berbalas pesan singkat padanya. Langsung saja aku beri tulisan support untuknya, agar tak menyerah. Dalam tulisan – tulisan layar singkat itu, aku menjadi tahu keinginan ibunya menjodohkan kepada pria yang lebih mapan secara materi dengan Meksikoku. Karena cintalah dia dan aku bertahan, dan tak bosan aku mensupport dia agar tak berhenti menyerah.

Kami sudah memiliki rasa yang sama yaitu cinta, dan kami ingin mengarungi kapal terkembang di laut kami sendiri. Kami takkan berhenti berjuang seperti berlari menembus hujan lebat, kami takkan berhenti. Karena kami masih memiliki semangat selain cinta yang timbul terbebat di sanubari kami. Dan kami akan terus berjuang, selama raga dan rasa kami masih terkandung. Terus aku beri semangat dia, agar terus berjalan menatap masa depan bersamaku, sambil mengatur strategi ke depan agar dalam waktu cepat kita bisa bersama dalam ikatan pernikahan dan tak menuruti syarat yang diajukan orang tuanya, lebih tepatnya ibunya.

Satu jam lamanya aku di warung kopi ini, dan beberapa saat kemudian obrolan singkatku selesai sore ini, karena dia akan meneruskan pekerjaan kantornya yang memang ditunda karena pertamuanku ke rumahnya. Perlahan aku pasang headset, sambil menikmati kopi senja yang mulai terpeluk malam.

I won't give up on us
even if the skies get rough
i'm giving you all my love
i'm still looking up

Mendesir lagu kesukaan kami, lagu penyemangat kami, dan demi Tuhan yang menganugrahi cinta kepada kami, aku dan dia ingin segera menjadi kamu, dan takkan berhenti memperjuangkan cinta kami. Cukup.

Share:

0 komentar