KETIKA 12 MALAM BERDENTANG

Tepat Pukul 12 malam. Lonceng di ujung dermaga itu selalu berbunyi, seperti MARS yang kudengar tiap pagi dari tape tua peninggalan ayah. Tape itu memang sudah hampir dua tahun ini menemaniku, kutaruh di sudut meja yang juga peninggalan ayah. Ah, aku jadi rindu sosok ayah seandainya ia masih bisa menemaniku.

Tak ingin melewatkan kesempatan ini lagi, aku abaikan rinduku pada ayah. Aku harus segera menyelesaikan niatku, sebagai anak yang sayang pada ayah. Toh, aku pasti akan bertemu ayah dalam lelap tidur subuh nanti.

Sambil bergegas aku lompat keluar jendela kamar menuju dermaga menembus kegelapan, kuselipkan sebilah alat buatan di pinggang kiriku. Mirip KEMOCENG yang biasa digunakan ibu tiap pagi dan sore membersihkan rumah. Ini adalah alat yang khusus aku buat agar jika malam orang mendapatinya, mereka pikir hanyalah barang biasa.

Aku mengendap-ngendap di sepanjang batang perdu yang tumbuh di kiri kanan jalan dekat dermaga. Aku tahu, lelaki itu pasti di sini. Dialah yang menjaga lampu dermaga tiap malam. Dia pula yang menjaga kapal-kapal yang ingin merapat agar tak kandas. Memberi petunjuk setiap kapal dengan lampu suar yang terang, seterang mentari pagi. Aku yakin, kali ini dia pasti tertidur, karena tadi selepas isya, tanpa sepengetahuan seisi rumah, aku mencampur obat tidur yang sudah kuperhitungkan, pasti malam ini dia tertidur.


Pelan-pelan aku menaiki tangga tempat dia bekerja, berusaha tak menimbulkan suara. Kulihat ia mendengkur, setelah berjarak beberapa meter denganku. Aku girang, sepertinya malam ini niatku langsai. Lelaki ini harus merasakan apa yang dirasakan ayah hingga mengerang di kegelapan malam. Dia harus merasakannya, hanya itu niatku.

Kucabut benda panjang di pinggangku, kukeluarkan dari rumahnya, segera kuayun. Dia mengerjap kaget. Dalam kegelapan, kuyakin dia tak tahu kalau aku yang melakukannya. Tenang, damai tanpa suara kulakukan kepadanya, lelaki yang merebut ibu dari ayahku dengan cara sadis.

Dia mengerang, laksana ayam yang sedang mengeluarkan TELUR. Dia melenguh, setelah kuayun persis di tengkuknya. Dia menggelepar, dan sempat kubisikkan pada telinganya, “selamat menikmati dendamku”

kuayun sekali lagi hanya ingin memastikan raga lelaki itu sudah tak berisi nyawa. Dia tak bergerak. Segera kubopong ia kumasukkan tas yang sudah kusiapkan, untuk kubuang di tengah laut malam ini. Setelah kubersihkan segala sesuatunya, aku menuju perahu dan mengarungi tengah laut untuk menenggelamkan diri bersamanya.

Aku lega, telah membalaskan dendam ayah.

Diikutkan dalam event Panggung Aksara dan Tarian Pena

Share:

0 komentar