PEREMANG SENJA
Kepada
Siang--
Selamat tinggal siang. Kau tahu,
berat mengatakan ini. Tapi aku benar-benar harus berlalu. Tapi
ingatlah, bukan aku sengaja melaluimu, tapi kamulah yang melaluiku,
melangkahiku. Aku tak ingin larut dalam gundah yang tak berujung,
jadi mulailah kumantapkan hati untuk melaluimu.
Aku tahu, kamu lebih senang
menyinari kafilah itu dari kemarin. Kamu lebih suka terikmu dia
sesapi, padahal ia tak pernah tahu bahwa itu terikmu, juga tak pernah
menyesapinya. Bahkan walaupun kau kerahkan semua daya panasmu untuk
menggugah hatinya, dia takkan pernah tahu. Kamu saja yang terkasat
hingga gila kepadanya dan menjadi sebab lupa padaku.
Dan
tahukah kamu siang? Dia sedang menunggu siang yang lain, yang telah
lama menyinarinya semenjak Adam dan Hawa menjejakkan kaki di sini.
Ketika Romeo dan Juliet belum bertemu, dan ketika Sang Yesus belum
menghidupkan umatnya yang mati. Dan juga saat Nabi Muhammad belum
datang ke Singgasana Tuhan di langit tujuh.
Dia takkan terpukau oleh teriknya
dirimu, karena dia selalu membawa tudung kemanapun dia pergi. Dia
juga takkan terpesona oleh magis kecantikanmu, karena dia adalah sang
khafilah, yang membatasi dirinya dengan sesuatu yang bernama
keyakinan. Dia tak pernah memerah, seperti jambu yang pernah kau
tulari. Dia bukanlah hamba, karena nafsu tak pernah dia jadikan
tongkatnya, walaupun kau selubungi ia dengan gemerlap yang kau punya.
Kau tahu siang, tanpa kau sinari,
dia sudah bersinar. Hatinya adalah lampu, jiwanya adalah Tuhan. Jadi,
buang jauh-jauh keinginanmu bersamanya, menelingkupinya dalam tiap
waktu. Dia takkan terbawa, karena dialah Pandita Ratu. Dan cinta
baginya adalah sesuatu yang telah teronggok di telinga jiwanya, dia
takkan tercenung sebab auramu, siang. Dia tetaplah satu, dan
satu-satunya yang terus ia gilai. Dia dan cintanya adalah satu
kesatuan seperti meleburnya air dengan gula yang kemarin kau minum.
Jadi, berhentilah siang
menembuskan sinarmu kepadanya, dia sudah menjatuhkan talak kepada
sebelum kamu. Berhentilah, dan selamat menikmati kekecewaan bisu.
Selamat terhempas di antara karang-karang kesunyian, sekali lagi
siang, selamat tinggal.
Untukmu
Awan--
Kau tahu lelaku siang? Ah,
mungkin kau jarang memerhatikannya, dia terkadang membencimu. Yang
kutahu dia memang membencimu, karena dia sukanya begitu, atau lebih
tepatnya selalu begitu. Kau memang melakukan tugasmu dengan benar,
mengikuti apa yang diperintahkan angin, yang memang terkadang
menutupi sinarnya, hingga kamu tak dapat meluruhkan sinarmu, menembus
kepada sesuatu yang dia cintai, lebih tepatnya ingin sesuatu itu
mencintainya.
Cinta yang menurutnya harus dia
kejar, yang terhambakan olehnya beberapa saat yang lalu. Dan kau tahu
awan, siang itu adalah seorang pemaksa, dan dia tak pernah sekalipun
menggunakan logika. Atau mungkin logika dia terlalu rendah, hingga
logika itu tak bisa menyamai rasa cintanya, dan logika itu lebur
berdemu terbawa angin yang menderu di belakang telingaku. Oh maaf
awan, masih menurutku, itu bukan rasa cinta, hanyalah rasa kagum.
Jikalau itu memang cinta, dia takkan berlalu melaluiku dengan
keretanya yang masih membutuhkan kepiawaianku dalam menghentak sang
kuda. Siang tak pernah mengerti cinta, seperti cinta sang angin
kepadamu, Awan. Siang selalu ingin berlalu, karena dia bukan pecinta
hakiki. Dia hanyalah terlarut dan membiarkannya berlarut-larut dalam
cinta semu. Dia biarkan dirinya tergoda cinta, oh maaf, menggoda
cinta lebih tepatnya. Karena yang dia cintai tak pernah menggodanya.
Dia biarkan dirinya melupakan kodratnya untuk mencintaiku, menjadikan
dirinya tak pernah menemukan tongkat hidup untuk ketegakan
kepribadiannya. Sebagai seorang pemaksa, dia paksa yang dia cintai
untuk mencintainya. Dia lepas aura jiwanya untuk yang dia cintai,
padahal dia tahu, yang dia cintai bukanlah belahan jiwanya. Dia pikir
mudah untuk mendapat cinta, karena yang dia tahu cinta hanyalah
sepasang, seperti sepasang muda mudi yang bercengkrama menikmati
senja. Seperti sepasang merpati yang selalu menikmati udara bersama
dengan melekatkan lengan sayapnya di antara kesejukan senja. Dia
takkan pernah tahu, bahwa cinta adalah sesuatu tentang rasa. Cinta
tak selalu sepasang, karena terkadang di antaranya hadir sesuatu yang
bernama keyakinan, bahkan juga terkadang hadir juga yang bernama
pengabdian.
Aku sebenarnya salut padamu awan,
kamulah sang pengabdi abadi. Kau biarkan dirimu menjadi penghamba
angin, tak seperti siang. Kau tenggelamkan dirimu dalam luruhan angin
dan teman-temannya. Kau biarkan dirimu menjadi putih, terkadang
menjadi abu-abu, bahkan suatu waktu kau menjadi hitam berjelaga.
Hingga siang terhalangi pandangannya, tak dapat menyiurkan sinarnya,
menjadi gagal seperti sekam yang terbakar. Dan itulah yang menjadi
alasan kenapa siang sangat membencimu. Padahal, seandainya dia mau
menunggu, sebentar lagi kamu pasti putih kembali, hitammu hilang
menjadi air hujan. Kemudian bulir warna pelangi mulai menjadi temanmu
di sela-sela teman-teman awanmu. Ah, sungguh nikmat menjadi dirimu,
awan.
Tahukah kamu awan, kaulah zat
sederhana dari Dzat semesta ini. Kau sederhana dalam nyata, sederhana
dalam pengabdian, dan sederhana dalam mencintai angin. Di balik
kesederhanaanmu, tapi kau juga tak dapat menyembunyikan kodratmu.
Yah, memang apapun di semesta ini tak dapat menudungi kodratnya.
Apapun tetap akan kembali ke asalnya, karena Sang Maha Semesta sudah
menggariskannya. Dan itulah yang tak dapat dilakukan siang.
Kepada
Angin--
Apa kabarmu angin? Masihkah kamu
menjadi pemerintah awan? Semoga saja masih, karena walaupun aku tahu
kau melakukan kodratmu, tapi aku merasa tertolong karenamu. Bukankah
di dunia ini memang merupakan rantai kehidupan? Yang satu sama lain
saling tolong menolong, walaupun kita terkadang tak merasa menolong.
Kau tahu angin, aku sangat
mengagumimu. Kagum dengan lelakumu, sangat bijak menentukan kapan
rakyatmu yang bernama awan kaudorong menuju barat, timur, selatan
ataupun utara. Bijak menjadikan awan putih, abu-abu ataupun
menjadikan dia hitam seperti jelaga. Menyadari kodratmu, mengajari
awan akan kodratnya, dan melakukannya tanpa kudengar sesayup nestapa
penolakan darimu.
Selain itu, kau juga menjadi
pengabar berita. Kau beritakan melalui teman-temanmu tentang siang.
Kau biarkan berita itu tersebar di seantero jagat, walau siang tak
pernah merasa malu karena berita itu. Ya, memang kau sangat cocok
menjadi pembawa berita. Kau tak peduli akibat dari berita itu, berita
anginmu. Memang tak semua beritamu benar, tapi kali ini berita
tentang siang, sangat nyata dan benar adanya. Mungkin saat mendengar
kabar itu, kau tegakkan telinga hatimu, kau lekatkan ke dalam jiwamu,
agar berita itu tak mengandung fitnah, dan kali ini kau berhasil. Aku
jadi menarik keyakinanku, bahwa walaupun dirimu adalah angin tua,
ingatanmu juga tajam.
Atau kamu memang sedang berbenah
diri, angin? Ataukah kamu sedang mengigau? Ah, aku tak peduli, yang
terpenting bagiku, kali ini yang kau sebarkan bukanlah berita
murahan. Bukanlah berita yang selalu ada di pasar-pasar tradisional.
Bukan pula berita basi yang selalu muncul di layar televisi
manusia-manusia bodoh itu. Apalagi berita politik yang sangat tak
kusukai. Kau tahu kan, berita di layar itu, terkadang dibuat
sendratari, dimana tarian-tarian itu mengandung gurauan belaka tapi
dengan kemasan serius, hingga yang menontonnya pun tak tahu kalau itu
adalah sebuah kegamangan. Ah, memang manusia-manusia itu sangat tak
tahu, atau lebih tepatnya tak tahu menahu. Atau mungkin mereka sedang
degradasi moral seperti siang yang terdegradasi sebab nafsu
memeluknya.
Aku hanya berharap padamu angin,
teruskan kodratmu, teruskan apa yang menjadi keyakinanmu, walaupun
seluruh semesta sudah tak yakin padamu. Sampaikan berita yang mudah
dicerna, berita yang bukan menjadi gosip murahan yang ada di
kamar-kamar para remaja itu.
Dan satu yang harus kau tahu
angin. Bukan aku tak suka kau menderu, apalagi saat awan menjelaga
hitam dan sesaat kemudian menumpahkan kemarahanmu. Menderulah kamu
sesukamu, karena memang itu adalah hakmu. Menderulah hingga siang
tahu dan sadar akan kesalahannya, menderulah hingga air hujan yang
menjadi bukti kemarahanmu jatuh dan menyesap di bumi yang sangat
dicintai manusia-manusia bodoh itu. Tapi sekali lagi aku mohon
padamu, jangan kau korbankan manusia-manusia yang tahu dan menyadari
kesejatiannya. Peluklah dia dengan kemarahanmu, dan bantu aku memohon
kepada Tuhanmu yang juga Tuhanku, untuk melindungi mereka. Tentang
siang, aku sudah tak peduli, biar saja ia menjadi lebur, sebab itu
memang pantas untuknya. Biar saja ia menggantung dan menunggu awan
menjadi putih, dan biar saja ia terpenjara oleh nafsu yang sudah
melingkupinya.
Aku sangat suka tatkalah awan
menumpahkan airnya menjadi hujan pagi. Yah, aku tahu itu memang
perintahmu, kekagumanku padamu seperti rasa kagumku pada awan. Akupun
tak tahu dari mana rasa itu datang, yang terpenting aku mengagumimu
dan mengagumi awan.
Kau tahu angin, tatkala pagi
kemarin, awan memang terlihat tak bersahabat, dan kamu hanya melirih
di sela-sela daun yang membentang di padang itu. Siang pun semakin
marah, karena dari pagi hingga senja dia tak dapat menjadi siang,
yang terlihat hanya pagi yang sejuk dan senja yang temaram. Awanlah
penyebabnya, dan kutahu itu masih menjadi perintahmu kepadanya.
Dan di pagi yang sejuk dan dingin
itu, awan menumpahkan airnya bersama dengan lirihanmu yang
sepoi-sepoi manja, hingga terbentuk embun dan kawan-kawannya menetes
di antara dedaunan, genteng di rumah kafilah itu, hingga di antara
pagar-pagarnya.
Dan kamu masih menjadi angin yang
tak pernah bisu dan berkeliaran kemanapun kau suka, tak seperti siang
yang selalu tergulung nafsu.
Probolinggo, 2013
Tags:
puisi
0 komentar