PEREMPUAN MISTERI
Tetap di meja yang sama seperti
kemarin. tak terasa sudah hampir seminggu ini ada hal yang
mengusikku, lebih tepatnya mengusik dalam mimpiku. Dan di sini, kafe
yang beberapa bulan terakhir menjadi kebiasaanku menyelesaikan
tulisan-tulisanku atau bahkan hanya untuk menikmati sunyi saat senja
menghadang di ufuk barat. Aku terusik oleh sebuah mimpi yang hampir
tiap hari menghinggapiku. Ya, hanya mimpi.
Dan Kafe ini berbeda, aku pun tak
tahu apa yang membedakannya. Yang kutahu, Kafe Komunlis, begitu
namanya mempunyai legenda yang menurutku di luar nalar. Ada Sofa
berwarna Merah yang ceritanya dari mulut ke mulut telah membuat
siapapun duduk di situ mengalami kemunduran, entah pasrah kepada Sang
Nasib yang menjemputnya, atau bahkan menggagalkan rencana masa depan,
dan itu biasanya dua sejoli. Sofa itu terletak di sudut persis dekat
jendela yang menghadap ke arah hutan. Ya, di belakang kafe ini adalah
sebuah hutan buatan, menambah ekosistem udara di kota yang masuk
kategori penduduk padat.
Yang membuat nyaman kafe ini
adalah suasana. Ya aku ke sini membeli suasana. Sejuk terasa udara di
kafe ini, apalagi saat malam tiba. Aroma kopi yang diracik barista
juga terasa menusuk hidung, menimbulkan keinginan untuk segera
menyesapnya. Apa mungkin memang aroma terapi? Dan sofa antik itu
cerita beredar tanpa nalar. Pernah aku berpikir apa itu hanya
akal-akalan pemilik kafe ini, demi mendongkrak penjualan? Tapi ada
temannya temanku memang mengalaminya, tapi aku masih tak percaya.
Tak terasa sudah setengah gelas
kopi aku alirkan di tenggorokan kasarku. Untuk mengisi waktu,
kulangkahkan kaki menuju meja bar. Kupesan kopi spesial, sambil
menunggu perempuan yang selalu mengisi mimpiku.
“Masnya lagi menunggu siapa
nih, tumben –
tumbenan kok
sepertinya gelisah?” sapa mbak waitres yang selalu melayaniku. Aku
hanya bisa tersenyum simpul melipat bibir.
“Lagi menunggu mbak yang
berkerudung kemarin itu ya mas?”
Aku tersenyum kecil saja,
pertanyaan yang cukup dijawab dengan senyuman rahasia. Dan hei, baru
aku menyadari kalau mbak waitres itu menelisikku tiap hari akan
kehadiran perempuan misteri tersebut. Dan ah, sudahlah, aku tak perlu
ambil pusing.
Kembali aku di mejaku, dan saat
itu pula perempuan itu datang lagi, dan kali ini dia mulai dengan
menatapku penuh tanya sebelum duduk di meja smoking area seperti
kemarin. Ah, mati rasa aku kali ini, seperti tersengat listrik
bermega watt, antara gemetar dan gelisah.
Kuberanikan saja mendekatinya,
agar tak mengundang tatapan tanya perempuan itu, dan juga agar tak
semakin meracaukan hatiku lagi.
Pelan – pelan aku menyapanya,
“Enggg... Maaf mbak yang kemarin itu kan?” sapaku sambil berdiri.
“Mmmm, Iya mas, siapa ya?”
“Maaf yang kemarin mbak, aku
tak pernah bohong mbak, benar mbak yang hadir dalam setiap mimpi –
mimpi malamku, dan aku seperti mengenal mbak dengan baik di dunia
nyata”
“Masa sih mas?”
“Beneran, aku benar-benar tak
mengkhayal. Apakah lukisan mukaku seperti pengkhayal?”
“Ah, mas ini seperti penghayal
saja”
“Ah, sudahlah mas, tak penting
sepertinya”
“Tolong mbak, aku serius,
benar-benar mbak yang datang dalam mimpiku. Tolong aku mbak agar
mimpi malamku tak menjadi misteri biru di padang tandu. Atau mbak
lagi ada yang ditunggu sampai mbak tak bersedia menjadi penjelas
mimpiku?”
“Aku tak menunggu dan ditunggu
siapa -siapa”
Perempuan itu segera beranjak
pergi meninggalkanku, dan aku pun sadar diri dan segera duduk di
mejaku kembali, kuteguk kopi hitamku, dan pelan – pelan aku
lanjutkan tulisanku tentang perempuan itu. Dan tak sadar seperti
magis, perempuan itu hilang dibalik pintu kafe ini.
“Stebby Pulang....!!!” sontak
aku kaget. Aku tak mengenalinya. Siapa lagi ini, setelah perempuan
tadi masih ada lagi misteri, capek rasanya.
“Ayo pulang, kamu belum sembuh
nak, Ibu berjanji akan menyembuhkanmu, jika setahun kamu tak sembuh,
ibu harus rela kamu pergi ke rumah sakit, agar otakmu berjalan
sempurna”
Bulir-Bulir mata perempuan yang
mengaku ibuku mulai menetes. Ah, ada apa lagi ini, aku tak tahu, tapi
aku menurut saja ketika ia membimbingku. Aku bergumam padanya tentang
sofa merah itu, tentang perempuan misteri tadi, tapi ia tak
menghiraukanku.
Ah, tambah pusing kepalaku.
Tapi Dewi Fortuna menghampiriku,
tak lama manajer kafe itu dengan segera menangani insiden ini. Dari
permohonan maaf yang meruah dari bibirnya, aku segera tahu, bahwa itu
adalah ibu pemilik kafe yang terkadang suka ngelantur. Ah, entahlah,
aku tak terlalu mendengarkan penjelasan itu, bagiku aku harus fokus
kepada perempuan mimpiku, yang masih misteri bersama hasrat
pembuktian tentang Sofa Merah itu.
Tak berapa lama, perempuan itu
kembali, ternyata ia pergi hanya sekedar ke kamar kecil. Tapi kali
ini berbeda, kau tahu kan berbeda tak harus banyak pembeda. Berbeda
terkadang masih sama tapi tetap ada pembeda. Dan saat ini, perempuan
itu berbeda dengan senyum yang ia berikan kepadaku, paling tidak itu
menurutku. Ia mulai terlihat ramah, dengan cara tatapan yang sudah
tak nanar lagi.
Setelah kulihat ia duduk di
mejanya kembali, kulangkahkan kaki kepadanya, dengan tegap tanda
keberanian nekatku muncul tak sengaja, tanpa kuminta. Dan bagiku ini
Anugerah.
“Boleh aku duduk?”
“Silahkan Mas.”
Kubuka Pickup-Line ku padanya
dengan basa-basi seputar kehadirannya di kafe ini. Obrolan kami biasa
saja, hanya berkenalan biasa, tanpa maksud dan tujuan yang tak biasa.
Ini kulakukan karena ku tak ingin, bersembunyi di balik tetesan panah
mata itu, perempuan misteriku. Karena jika itu aku lakukan, tempias
anggun takkan pernah sampai di sudut jiwaku, yang aku pun tak tahu,
hasrat ini membawaku ingin segera mengenalnya.
“Rain, …..?”
“Hemmm, iya mas?”
“Bisa iya bisa tidak. Pertama
aku jujur, bahwa kamu memang seperti perempuan dalam mimpiku. Tapi
apapun itu aku ingin lebih mengenalmu, dan sepertinya hobi kita sama,
membunuh senja dengan menyesap kopi di kafe ini.”
****
Tanpa terasa, sudah hampir tiga
bulan aku menghabiskan senja di kafe ini, dan selalu bersama Raini.
Namanya unik, dan aku suka memanggilnya Rain, seperti hujan senja
yang selalu kuinginkan hadir dan mengisi soreku, hingga menjelang
malam temaram yang selalu sunyi, walaupun bunyi terkadang membisik
lirih di kedua telingaku. Dan Rain-lah yang selalu menemaniku. Tanpa
terucap kata manja, pun yang bernafas cinta, tapi mata kami selalu
bertemu di udara, dan mengisyaratkan debur jiwa yang sama, sama dalam
naluri, sama dalam rasa, dan sama dalam aksara bermakna.
Senja ini, kuajak dia duduk di
Sofa Merah ini, dan terhitung ini adalah ketiga kalinya. Ia tak tahu,
dan tak pernah tahu, bahwa ini hanya pembuktianku terhadap mitos atau
cerita-cerita aneh yang menurutku tak logis. Bagaimana mungkin sebuah
Sofa Merah bisa mengendalikan dunia, hingga nyawa dua sejoli bisa ia
ambil? Dan aku berpikir tak mungkin.
Dan akan hubunganku dengannya?
Masih seperti biasa, tak ada kerikil penghalang yang hadir, hingga
ketiga kalinya aku duduk di Sofa ini senja ini.
Kutebarkan pandangan ke
sekeliling kafe, sambil menunggu kehadirannya. Seperti biasa, sambil
menyunggingkan senyum, barista kafe ini melakukan tugasnya dengan
penuh cekatan, tanda berkelas profesi yang ia tekuni. Cepat dia
membaca order
yang datang, segera ia racik dengan cepat, terkadang ia menggunakan
alat mix
untuk pesanan tertentu. Dan kembali ia tersenyum kepadaku, bila kami
saling beradu pandang.
Kafe
ini lagi tak ramai seperti biasanya, hanya beberapa meja saja yang
terisi pengunjung. Kuhitung, hanya ada dua pasangan, dan seorang
lelaki tua menikmati kopi. Pesananku sendiri memang belum datang,
sama waitres tadi sudah kukatakan, pesananku diantar jika perempuanku
datang. Sementara sofa merah ini memang aku order khusus dari
kemarin, agar tak ada yang menempatinya. Dan memang, tak semua orang
berani duduk di sofa ini.
Tak
berapa lama, Raini datang, dan langsung menuju sofa merah yang
kududuki, sesuai perjanjian kami. Berdegup hatiku, padahal bukan
pertama kali kami bertemu. Entahlah, seperti ada bisikan-bisikan tak
jelas di larik-larik telingaku. Dorongan kuat untuk memeluknya dan
mengucapkan sebait kata sebelum kulupa, yaitu cinta. Bukan aku
jumawa, tapi benar-benar bisikan-bisikan itu semakin kuat. Aku merasa
hanyalah malam ini kesempatanku, hanya malam ini aku bersama
dengannya. Aku tahu, mengenalnya sebab rasa, merindunya pun sebab
rasa, dan dirinya adalah rasa, yang selalu membuncah riuh dalam
bentuk rindu. Tapi sisi jiwaku yang lain berkata, “Jangan
kau dengar bisikan kosong itu, dia bukan Tuhan, lawan dia dengan
keyakinanmu”
aku terpejam sebentar, kemudian kubuka dengan bisu di depannya, aku
nanar, seperti timbul keraguan dan keyakinan yang datang dan pergi.
Dan aku tak tahu apa yang menyebabkannya. Ya, kali ini si sofa merah
ini berhasil merasukiku, pikirku.
Tidak!
Aku harus yakin, seyakin mentari yang selalu menyinari hari walau
mendung terkadang mendera. Perkara aku mati seperti kisah si Sofa
Merah ini, itu hanyalah luapan takdir yang menggenggam erat jiwaku,
melalu bantalan sofa ini, dan tetap bukan karena sofa ini, karena ia
tak berjiwa.
Dan
satu harus kulakukan, yakin untuk segera meminangnya, sebagai kekasih
yang tak lekang oleh malam sepi, sebagai penjaga jiwa untukku, dan
aku harus membuktikan pada dunia, bahwa sofa merah ini bukanlah
siapa.
“Maafkan
aku Rain, aku terkesiap hingga bisu, aroma magismu benar-benar
merasuki jiwaku”, ujarku padanya menyembunyikan kegalauan sebab
sofa merah ini.
“Tidak
apa-apa mas, aku pesan minuman dulu ya”. Kuberikan kode pada
waitres untuk mengantarkan minuman favorit kami, dia gelas moccachino
float
dan sebatang wafer bulat panjang di dalamnya. Dan dia tak pernah
protes, karena memang kami sama-sama menyukainya.
****
“Aku
mencintaimu, dan ingin menjadi penjaga hatimu”, segera kukatakan
begitu gelas minuman kami mendarat di meja.
“Maksud
mas? Kok tiba-tiba?”
“Ah,
sudahlah, memang malam ini aku berniat mengungkapkan padamu, Rain.
Tinggal kamu jawab iya atau tidak, dan kumohon, jangan berubah apapun
jawabanmu”
“Boleh
aku menjawabnya dengan kebersamaan kita saja mas, karena kita bukan
anak kecil?”
setelah
berpikir sebentar aku mengangguk, dan malam ini menjadi malam spesial
bagi kami. Raini berani manja kepadaku, dan genggaman tanganku
padanya, tak pernah ia tolak. Hatiku menggelepar oleh cinta yang kami
sesap bersama.
****
“Tidaaaakkkkk”
pekikku setelah beberapa bulan aku berhubungan dengannya. Aku
terkesiap dengan sebaris kata yang dia kirim melalui pesan singkat.
Dia meninggalkanku untuk orang tuanya, dia membayar hutang orang
tuanya dengan menikahi anak lelaki teman orang tuanya.
Hatiku
lebur dalam gamang, dan tiba-tiba aku teringat kembali Sofa Merah
itu. Segera aku menuju Kafe Komunlis lagi, mengendap-ngendap saat
subuh mulai merangkak. Seperti maling, aku masuk melalui jendela
samping.
Dan
akhirnya kubakar diriku bersama Sofa Merah ini, setelah kutinggalkan
selarik puisi untuknya di atas tempat tidurku.
Dan
Sofa Merah itu akhirnya tenggelam bersamaku.
Probolinggo, September 2013
Tags:
Cerpen
0 komentar