TAK KUNJUNG LANGSAI ?
Dalam
hening malam ini, tak sengaja kubangun sebuah malakat rindu yang
tergugu. Aku tak tahu, kenapa tiba-tiba aku mengingatnya, perempuan
yang pernah memenuhi hariku. Perempuan yang beberapa bulan lalu
kutinggalkan karena ketakberanianku untuk mengungkapkan lautan rasa
yang mulai menjajah benakku. Tak ada yang bisa kulakukan untuk
menghapusnya. Aku hanya bisa membalik-balikkan badan tanda tak
kutemukan lagi obat rindu ini.
Aku
merasa bodoh dulu tak segera mengungkapkan ini. Memang, kusadari aku
lelaki yang tak punya keberanian. Dadaku selalu berdegup setiap
bertemu dengannya. Hatiku tak keruan seperti ombak di Pantai Selatan.
Entah, perempuan ini benar – benar istimewa. Lain dengan
perempuan-perempuan yang kukenal sebelumnya. Perempuan ini begitu
mandiri, tak mudah untuk mengakrabkan diri denganku, walaupun aku
sudah berusaha mendekatinya. Aku tahu, dia memang seorang pekerja
keras. Dengan label seorang customer service
sebuah bank ternama, tak seharusnya ia seperti itu padaku. Tapi
perempuan ini lain, tak mudah ia memberi kesempatan kepada setiap
kumbang yang mendekatinya, termasuk aku. Dan inilah yang membuat
semangatku naik turun laksana permainan ombak banyu
di pasar malam.
Pelan
kutegakkan diriku, duduk di kursi kamarku. Segera kuraih handphone
yang beberapa bulan ini masih menemaniku, sejak aku pertama
mengenalnya. Kontaknya dalam daftar Blackberry Messengerku
tak kuhapus. Memang aku sengaja, karena bukan aku ingin
meninggalkannya untuk luruh dan mencoba mencari hati yang lain. Tapi
aku benar-benar kehilangan semangat mendekatinya saat itu. Pikiranku
malam ini sebenarnya ingin sekedar menghubunginya kembali. Tapi, aku
benar-benar tak punya keberanian, walaupun hanya melewati baris-baris
sederhana dalam layar singkat ini. Kuperhatikan wajah ayu itu lagi,
dalam bentuk foto profil yang dia pasang. Ah, hatiku terkesiap tak
tertahan. Aku benar-benar menikmati ciptaan Tuhan yang sangat jarang
kutemui, paling tidak di umurku yang sudah kepala tiga.
Kutimang-timang handphone ini, haruskah aku segera menghubunginya
atau sekedar menikmati keindahan semu yang kuciptakan sendiri?
Akhirnya, setelah aku berpikir, “kenapa tidak lebih baik aku
mencoba menghubunginya? Minimal aku ada usaha untuk bersua kembali
dengannya, walaupun melalui layar singkat ini. Tak perlu aku
berpikir kegagalan yang menari-nari di sudut-sudut terpencil otakku.
Segera kuketikkan beberapa kata sebagai pembuka, “Apa kabar
Dyan?”. Layar singkat itu pun telah berubah statusnya menjadi
terkirim, dan dia belum membacanya. Karena status message yang
kukirim masih delivered bukan read. Lama aku menunggunya
sambil terus tak berhenti menatap status pesanku. Semenit dua menit
dan hampir 15 menit kupandangi tanpa ada perubahan berarti. Tentunya
sambil kusesap sebatang rokok menemaniku agar tak jenuh.
Aku beranjak mengambil gelas kopi hitam yang isinya sudah setengah.
Kusesap aroma kesukaanku ini, sambil terpejam kuteguk dua kali. Ah,
rasanya begitu menyegarkan penat otakku. Tak kalah dengan kopi-kopi
yang dibuat barista-barista di kafe. Yah, minimal aku sendiri yang
menyanjung diriku, yang hingga saat ini masih sendiri membuat kopi
sebagai pengusir kesendirianku.
Kembali mataku menatap status pesan singkatku. Dan masih tak beranjak
seperti pengharapanku. Dia masih belum membacanya. Dan tahap inilah
yang sangat kubenci. Tahap di mana menunggu dan menunggu. Aku lebih
baik menunggu hal yang pasti daripada menunggu cinta yang tak kunjung
datang. Dan menunggu dia membaca pesanku, hampir tiga puluh menit
seperti sebulan aku menunggunya.
Aku memang bukan lelaki yang sabar untuk urusan menunggu. Tapi, ah
kupikir demi cinta yang sudah kupintal rapi, kenapa tidak aku mencoba
bersabar menunggunya. Minimal hal kecil, menunggu dia membaca
pesanku.
Tiga puluh menit telah beranjak pergi, dan pesanku belum dia baca.
Aku tak lelah menunggu, tapi kupikir kenapa tidak kurebahkan saja
tubuhku di kasur yang tidak bisa dibilang empuk. Sambil menunggu
balasan darinya, kusesap batang rokok yang sudah hampir sampai di
pangkalnya. Dan aku sudah meyakinkan diri, akan tetap menunggu
balasan darinya.
Setelah kumatikan rokokku dan segera kubuang di asbak, kulirik
kembali status pesanku. Tapi ini benar-benar menguji kesabaranku. Dia
belum membacanya.
Aku mulai mengira-ngira, apakah ia sedang sibuk? Atau ia sedang
tidur? Dan terburuknya dia tak mau membalas pesanku, sebenarnya.
Kuletakkan handphoneku di meja sebelah tempat tidur, dan pastinya
semoga ada balasan darinya, harapku. Handphone tak kumatikan, malah
kuperbesar volumenya agar segera aku tahu jika ada pesan masuk atau
apapun. Walaupun itu tak selalu darinya, tetap kulakukan hal ini dan
persis di sebelahku agar telingaku bisa merespon jika berbunyi
sewaktu-waktu.
Kupejamkan mata sambil menganalisa kenapa dengan pesanku. Toh, kata
yang kutulis hanya sederhana, tak mungkin menyinggungnya. Jika sedang
tidur biasanya dia mematikan handphonenya, dan tak mungkin status
pesanku terkirim. Atau memang dia tak mau membalas pesanku, pastinya
aku sudah di delete dari kontaknya dan dipastikan sampai saat
ini tak mungkin gambar profilnya berganti-ganti aku tahu di recent
update kontak BBM-ku. Dan terakhir, kalau dia memang
sedang sibuk, waktu sudah malam, tak mungkin sebagai customer
service dia bekerja sampai larut malam.
Otakku sudah terjejali dengan perkiraan-perkiraan semu tentangnya.
Daripada aku semakin kelam memikirkannya, lebih baik kuhidupkan radio
dan kupasang headset di telingaku. Sambil sesekali melirik
handphoneku, siapa tahu lampu notifikasi hidup menandakan ada pesan
masuk. Maksud hati sebenarnya ingin memindah pikiran menungguku
dengan menikmati alunan lagu melalui headset, tapi apa daya aku tak
bisa untuk tak memikirkannya.
Dan tak sadar aku tertidur.
***
Waktu masih pagi, kulirik jam beker jarum pendeknya hampir di angka
lima. Udara dingin menelusup di kulit-kulit yang sudah tak bisa
dibilang muda. Aku masih terhampar di peraduanku, masih malas rasanya
untuk segera bangun. Aku tahu waktu tak bisa kembali, seperti subuh
ini tak mungkin bisa kuputar seandainya aku melewatkannya. Gigil pagi
sebenarnya bisa membuat semangat, bisa pula membuat malas. Tergantung
siapa yang merasakannya. Karena di dunia ini semua adalah tentang
rasa. Apapun itu. Kita bekerja tanpa rasa juga membuat pekerjaan
berantakan. Mencintai tanpa rasa juga akan terasa hambar. Termasuk
mencintai Tuhan. Dan sebab rasa inilah, aku segera bergegas mandi
walau dingin menghampar, dan tubuhku seperti tertusuk-tusuk jarum.
Maklumlah, di daerah yang bisa dibilang dingin, di kaki gunung
semeru. Tentunya jam segini masih terasa dinginnya.
Segera aku bangun dan tak lupa kumatikan bekerku agar nanti tak
berbunyi, karena aku bangun sebelum jam beker ini teriak-teriak
kepadaku. Sambil bersiul kecil aku masuk kamar mandi. Kuguyur badanku
dengan air sedikit, agar dia adaptasi dengan hawa dingin ini.
Walaupun bukan pertama kali aku di sini, tapi tetap aku masih alergi
dingin. Kupercepat mandiku, agar hawa dingin ini segera enyah dari
badanku. Selesai mandi, segera kuambil air wudhu, agar nanti bisa
langsung menghadap Tuhan sebagai realisasi cintaku padaNya.
Aku memang terbiasa melakukannya sendiri, sangat jarang aku pergi ke
musholla dekat kamar kosku. Hal ini karena aku benar-benar alergi
dingin. Jika memuncak, biasanya aku menggigil sangat dan ini sangat
kuhindari. Kuambil jaket di dalam almari, kemudian aku mulai
melakukan rutinitasku menghadap kepada Tuhan.
Belum kumulai, tiba-tiba ponselku berbunyi menandakan ada pesan
masuk. Lampu notifikasi pun berkedip-kedip laksana lampion ulang
tahun. Aku jadi ingat bahwa aku memang sedang menunggu balasan
darinya. Ingin segera kulihat siapakah gerangan yang mengirimnya
subuh-subuh begini. Tapi segera kuurungkan, setelah kuingat bahwa
menghadap kepadaNya jauh lebih penting.
Aku menyegerakan untuk menghadap.
Setelah
kutunaikan rutinitas subuh, dan merapikan sederhana tempat yang
kugunakan, aku segera meraih ponselku. Jujur dalam sholatku kurapal
doa untuknya, perempuan yang membuat hatiku menggigil laksana subuh
ini yang mencengkeram tubuhku. Dan sepertinya Tuhan mendengar
pengharapanku, walau sebenarnya harapan ini sempat mengganggu ketika
aku menghadap kepadaNya.
Dan
pagi ini, hatiku yang berkelindan semalam, mulai terurai sedikit demi
sedikit. Ini saat kubaca sebaris kata dalam inbox
messageku, “Baik
mas.. tumben ya, gmn kbr?” masih
dengan gaya tulisan yang sama, suka menyingkat kata. Dan layar
singkat ini mulai menjadi ajang obrolan pagi hari.
Pelan
kurebahkan tubuhku, sambil menikmati sejuk pagi yang menelusup di
sela jendela kamar. Pandanganku menerawang dalam diam di seantero
sudut-sudut atap kamarku. Sambil aku berpikir, kalimat apa yang tepat
untuk membalasnya. Sampai di tahap ini aku berdegup. Tujuan utama
menghubunginya kembali adalah menyelesaikan cinta yang belum sempat
terucap. Tapi, apakah mungkin aku yang lama tak bersua dengannya
tiba-tiba mengajaknya bertemu. Sedang aku tahu, ia tak mudah untuk
diajak keluar walau sekedar jalan-jalan.
Kubolak-balikkan
tubuh sambil terus berpikir kalimat-kalimat yang mungkin tersembunyi
di pagi hari. Entah aku tak tahu apa yang harus kutulis kepadanya,
sambil tanganku tak lepas dari keyboard ponsel. Apakah aku melalui
layar ini langsung kuceritakan tentang angsa ketapang yang telah lama
mencari pasangannya? Ataukah aku menuliskan tentang bait-bait yang
bercerita tentang kali yang lama tak pernah dikunjungi angsa itu?
Ataukah kuselipkan larik-larik yang tak sempat kutulis tentang hatiku
yang lama menyimpan rindu serta cinta yang selalu bertalu? Bahkan di
saat aku tak pernah menyambung lidah dalam kata dan menggenggam dalam
raga yang lama tak bertemu?
Aku
bimbang. Dan inilah ceruk terbesar kelemahanku. Mudah untuk merangkai
kata dalam tulisan merdu, tapi sulit untuk mengatakan tentang hati
yang bertalu rindu. Demi cinta yang lama kuperam untuknya.
Kucoba
tulis apa yang ada di hati, “Iya Dyan, bisakah kita
bertemu? Ada hal penting yang harus kuutarakan padamu dan kupikir
hanya kamu yang sanggup membantuku”
tak lama langsung berbalas, “kebetulan mas, aku juga ingin
ketemu mas, ada hal yang perlu kukatakan pada mas...”
“oke, nanti sore gimana selesai kamu pulang kerja, aku jemput
kamu”
“Boleh mas, jam 5 di kos ya”
“Oke sampai ketemu”
aku termenung, apa nanti yang harus kukatakan padanya. Tapi tetap aku
harus berterus terang tentang rasa rindu yang semakin lama semakin
menderaku.
Terlintas dalam pikiranku, kuambil secarik kertas untuk kutulis
untuknya. Bait-bait yang menggambarkan rasa tanpa perlu aku
mengungkapkannya.
Untukmu
perempuan senja
yang
melarung hatiku dalam wujud buncahan cinta
yang
membawaku dalam purnama
serta
malam yang terlukis indah
ijinkanlah
aku menorehkan rasa
dalam
jiwamu yang kutak pernah tahu apakah
sama
dalam naluri dan bebatan jiwa
berikan
padaku, sebuah lembaran
tentang
gulungan pertanyaan yang tak sempat
dulu
kuberikan padamu
bahwa
aku rindu di setiap mata kita bertemu
bahwa
aku ingin di setiap pagi yang sempat terlupa
bahwa
aku lemah di setiap senja yang jingga bersamamu dalam
rona
yang sudah tak lagi muda
kekasihku,
perempuanku
kutunggu
dirimu hingga malam terbunuh
oleh
pagi yang gigil sepi
untuk
sebuah jawaban tak semu
agar
langsai rasaku, serta
tak
terpias di awang hati
tentang
cinta yang tak sempat kuucap dalam larik kehidupan
kulipat kertas ini, untuk
kuserahkan nanti saat mata dan raga bertemu, sore ini.
Diikutkan dalam event Panggung Fiksi di Panggung Aksara Tarian Pena bulan Oktober 2013
Tags:
Cerpen
0 komentar