BUKAN HANYA MERAH PUTIH



“Bangun, pasang benderamu!!!” pekik ayah membangunkanku dalam mimpi.

Aku terbangun, dari mimpi panjangku. Perlahan kubuka mata, kulihat sekelilingku. Oh, hei aku tak mengenali tempat ini. Bukan, ini bukan ranjang kesayanganku. Samar-samar kulihat wastafel di ujung kamar, dan ibuku.... oh ibuku tertunduk lesu di kursi kayu. Apa artinya ini?

Di ranjangku tergantung sebotol air yang terus menetes pasti. Oh, hei ada kabel yang melintang dan menembus di sela-sela kulit lenganku. Kenapa aku di sini? Apa gerangan yang terjadi? Aku tak bisa menggerakkan kakiku, sedang ibuku masih tidur dalam posisi duduk di kursi sebelah ranjangku.

Menangis, hanya ini yang bisa kulakukan. Aku tak bisa membangunkan ibu, aku terbujur tapi tak kaku dalam ranjang ini. Dan sesosok ayahku tak kujumpai di kamar ini. Kucoba mengingat-ingat yang terjadi.

***

Siang itu, setelah aku berlatih baris-berbaris, aku segera melangkah pulang. Hari itu waktu sudah menunjukkan jam lima sore di arlojiku. Aku sangat bahagia setelah akhirnya aku terpilih menjadi pasukan pengibar bendera di kotaku. Aku terpilih mewakili sekolahku.

Kususuri jalan menuju rumahku yang memang tak jauh dari sekolah. Tanpa sengaja kulihat Reny, teman dekatku, lebih tepatnya orang yang mulai kusayangi. Dan dia tak tahu perasaanku, karena kusadar, logikaku berteriak untuk tak mengungkapkannya. Aku siapa dan dia siapa. Ah, sudahlah, mungkin melihatnya saja sudah lebih dari cukup.

Tapi ada sesuatu yang mencurigakan, dua pengendara motor mengikuti tak jauh darinya. Samar kulihat sebilah kayu terselip di pinggang dua pengendara itu. Otakku mulai bekerja, aku yakin mereka adalah perampok. Mereka akan merampok Reny.

Ya, aku yakin sekali. Dengan dandanan Reny yang penuh perhiasan melingkar di tubuhnya, pasti otak seorang perampok akan menggunakan kesempatan itu.

Segera aku berlari secepat kilat, aku buru Reny, agar lebih dulu aku mendapati dia daripada perampok itu.

“Braakkkkk...” aku berhasil mendorong tubuh Reny hingga terjerembab di depanku, dia selamat.

Tapi aku, tersungkur tertabrak perampok itu. Kurasakan sakit badanku, dan Aw.... mereka sengaja melindas kakiku. Dan gelap dan hitam kemudian kurasakan. Selanjutnya aku tak tahu.

***

Ibu terbangun dari tidurnya. Melihatku, segera ia merangkulku, Sambil menangis.

“Kamu sudah sadar sayang?” ujar ibuku sesenggukan.
“Apa yang terjadi Ma? Kakiku tak bisa kugerakkan”
“Sabar ya sayang, kamu ditabrak motor perampok yang gagal merampok temanmu. Kamu sudah tak sadar 3 hari”
“Ayah mana Ma?” sahutku
“Sebentar lagi ayah pasti datang, kamu tunggu saja semoga ia mendapat kabar baik”
“Kabar baik? Apa yang ayah lakukan?”

Tiba-tiba Ayah sudah ada di sebelahku setelah kudengar derik pintu yang terbuka. “Kamu sudah sadar Jon?” kata ayahku
“Sudah Yah, apa yang terjadi?”
“Mamamu sudah menjelaskan kan? Sudahlah, sore ini kamu pasti bisa jalan, aku membawakan bungkusan yang pasti berguna untukmu” sahut ayahku

Perlahan sambil dibantu Ayah, kubuka bungkusan itu. Dibalut bendera merah putih, perlahan kubuka. Oh tidak, kaki palsu. Apalagi ini?

“Kenapa Yah? Haruskah aku memakai ini?”
“Yang sabar ya sayang, mungkin ini sudah jalanmu, tapi semangat tak boleh pudar” kata ayah sambil mengelus kepalaku.
“Bagaimana aku mengibarkan bendera nanti di upacara agustus Yah?” aku semakin menangis tak karuan.
“Sudahlah yang sabar nak, kamu pasti sudah digantikan orang lain. Kamu tak boleh patah semangat, masih ada hari esok yang menunggumu. Menunggu untuk kau isi dengan hal berguna, walau dengan kaki palsu” bisik ayahku pelan di telingaku

Aku terdiam. Mungkin ayahku benar, mengisi kemerdekaan ini tak harus menjadi pengibar bendera. Toh, aku masih bisa menuangkan dalam tulisan, hobiku. Perlahan aku mulai berjanji pada diri sendiri, selepas ini, aku akan mengibarkan semangatku. Bersama benderaku tercinta.

Share:

0 komentar