SEMANIS KOPI


“Sudah Tiga Tahun Sukma” sambil kugenggam erat jemarinya berjalan di tepi laut senja ini.
“Iya mas, tak terasa ya...”
“Ah, jangan kau bilang tak terasa, sudah banyak yang kita lewati” sambil kubelai rambut lurus sebahu miliknya.
Dia mulai menyandarkan kepalanya padaku, sambil berjalan menikmati temaram sore ini, dan kami pun kompak terdiam. Angan membawaku kenangan tiga tahun lalu

****

Hari itu bukan hari pertama aku bekerja, sudah dua tahun lalu aku berada di kantor ini tiap pagi hingga malam menjelang. Dadaku terkesiap sebab karyawati baru yang cantiknya rata-rata. Ah, aku harus segera mengenalnya.

Untuk urusan ini, harus kuakui, akulah ahlinya. Tak butuh waktu lama mengenal, mengakrabkan diri, hingga aku bisa mengunjungi rumahnya. Tanpa ada sebab dan syarat apapun, aku mengalir saja menjalani ini. Dan kata cinta tak pernah terucap di antara bibir-bibir kami.

Pernah aku mengajaknya menyusuri jalanan kota sebelah, menikmati malam di sana. Kupilih tempat di taman kota, yang kupikir bisa menambah suasana hangat. Perlahan aku bacakan puisi untuknya, puisi spontan dan puisi sebagai tanda cintaku padanya, cinta yang tanpa ucap.

Malam temaram berkelip lampu taman
bersama dingin menelusup manja di antara sendi lengan
aku menggilaimu tanpa tudung kenistaan
karena anugrah ini yang memang harus kuungkapkan
padamu

sahabatku,
kedewasaan menelingkupi kita
pilihan Sang Pencipta sebagai tanda kita makhluknya
ijinkan aku membahagiakanmu
dengan tangan Tuhan mencampurinya

malam itu tak lepas kita menggenggam, sesekali kucium keningnya manja. Dan pada hari-hari selanjutnya, hal yang tak pernah tak aku lakukan jika bersamanya.

Pernah juga kususuri senja di tepi pantai, berdua mengeja langit yang memerah. Tanganku tak pernah lepas dari pinggang rampingnya. Aku benar-benar mencintainya, rasaku. Duduk di tepi pantai yang sangat sejuk menambah suasana hening.

***

dan senja ini, kuulangi lelaku itu, tapi berbeda. Aku sudah menyiapkan sesuatu untuknya, tanda aku sangat mencintainya.

Perlahan kubisikkan di telinganya, “Sukma, maukah kau menjadi istriku? Penjaga hatiku saat gundah dan riang menghiasiku”
Dia kaget, karena memang tanpa rencana. Sambil menoleh padaku, dia berkata “Maksud Mas?”
kuserahkan kotak merah jambu berisi sesuatu khusus untuknya,

bulir bening mulai mengalir di mata indahnya, bening seperti cincin yang ada dalam kota itu.
“Aku Mau mas.......” sahutnya cepat

Ditulis untuk lomba menulis cepat #FF sesi 1 di nulisbuku

Share:

0 komentar