DUA HITAM APA ITU
Selalu pertanyaan itu
kalau aku mendapat kenalan baru. Aku sih hanya senyum-senyum saja.
Karena itu hanya tahi
lalat, dua lagi bukan satu. Terkadang tiap pagi aku perlahan
kupandangi cermin, bukan sekedar memandangi diri, tapi apalagi kalau
dua bintik hitam di wajahku.
Ah, tahi lalat dua ini
tak bisa kuhapus memang, selalu ini yang pasti akan menjadi penanda.
Aku pun tak tahu, apakah ini anugrah atau memang penanda dari orang
tuaku. Yang kutahu, tahi lalat ini nangkring di pojok bibirku sebelah
kanan. Dan, hei tak hanya satu, satunya lagi di pojok dagu sebelah
kanan, ya walaupun tak tepat, agak ke atas.
Banyak teman-temanku
bilang padaku, tahi lalat itulah keunikanku. Dari jauh orang yang
mengenalku pasti tahu, kalau itu aku. Dan dari situ pula orang baru
pasti tahu denganku, kesan “rame” sebab tahi lalat itu.
Aku sendiri apa adanya,
tapi di ujung manapun kota ini, semua kenal denganku. Aku memang tak
bisa berdiam diri, warung kopi manapun di sini, sudah pernah aku
kunjungi. Dari situlah, teman-temanku banyak dan saling bertukar
pikiran, entah pikiran biasa saja bahkan sampai yang serius.
Tahi lalat ini muncul
sejak aku dilahirkan dengan normal dari rahim ibuku. Yah paling tidak
itu kata ibuku menjawab pertanyaanku waktu kecil. Aku sebenarnya agak
terganggu, tapi bagaimana lagi. Bayangkan saja, tiap seminggu sekali
aku mengguntingi bulu-bulu yang tumbuh dari tahi lalat itu. Aku risih
kalau bulu-bulu itu mulai meninggi, seperti ilalang di sawah yang tak
terurus.
Dan dua bintik hitam itu,
besarnya berbeda. Yang sebelah atas, dua kali besarnya dari yang
bawah. Sepertinya lebih tua yang atas dari yang bawah. Mungkin
lahirnya gak bebarengan.
Pernah aku berpikir ingin
mengoperasi saja agar tahi lalat ini hilang tak berbekas. Tapi banyak
teman-temanku memprotesnya, ada yang bilang menyalahi kodrat lah, ada
juga yang bilang, itu penandaku, tanda kalau aku bisa berbaur dengan
siapa saja, dari kasta manapun.
Ah, biarlah aku menjadi
lelaki bertahi lalat dua, mungkin itu saja cukup.
ditulis untuk #tantangannulis oleh @JiaEffendie
Tags:
FlashFiction
0 komentar