LEMBARAN-LEMBARAN YANG TERKULAI
Dan aku, masih saja
tercekat semu, kutatap nanar hingga mengabur dari pandanganku, wanita
yang telah mengasuhku hingga batang umurku mulai tinggi, saat ini.
Aku tak tahu jalan ceritanya, karena nenekku tak pernah bercerita,
pun ia bukan seorang pencerita yang baik. Ia terlalu sibuk untuk
mencari nafkah untukku, dengan membuat dan menjual tempenya di pasar
seberang jalan.
Aku mencoba menggambar
dalam ilusi, dalam imajinasiku. Angan tentang ayahku, tentang ibuku.
Dan apa yang kudapat? Tak ada, dan kuteruskan kembali membuka
lembaran ini, mungkin bisa menjadi penceritaku.
“Aku tak bisa
membayangmu, pun tak mungkin bisa merengkuhmu. Karena akulah embun,
yang sebentar lagi jatuh ke tanah, dan mati. Ingin kutitipkan engkau
pada angin, yang terlihat gagah dan menderu saban hari. Tapi apa yang
kudapat ketika aku bercakap tentang sebuah kalimat yang tak pernah
panjang? Dia diam dan terus menderu melaluiku”
Tak terasa bulir-bulir
bening mulai menyeruak, memaksa menyusuri pipiku. Begitukah perangai
Ayah meninggalkan ibuku? Begitu mudahkah ia melepaskanku sebagai
putri mahkotanya?
Hasratku masih ingin
membuka lembaran berikut, tapi otakku menghalanginya. Akhirnya,
kutarik nafas dalam-dalam,
“Saat aksara tak bisa
kudengungkan, dan nafas mulai sulit kuhembus di antara larik-larik
dinding kamar yang lama menghimpitku, aku tercekat melihatmu terkulai
dalam senja yang tak pernah ramah. Aku menyerah pada air mata, sebab
narasi ini tak bisa kulukiskan bahagia. Hatiku bertanya, apakah
engkau sanggup bermain riak-riak kali tanpaku? Atau menyuap bibirmu
dengan air susu yang bukan dariku, masihkah kamu bisa merasakannya
tanpa aku?”
Segera kututup lembaran
yang bukan lembar terakhir ini, aku tak sanggup, aku teriak dalam
sunyi yang tak lagi riang. Aku terhempas dalam debur jiwa yang tak
pernah ada tapi seperti ada. Aku bingung dalam lautan yang tak pernah
bisa kutemukan tepiannya.
Dan tiba-tiba, layar
singkatku berbunyi, “Datanglah, agar segera kau tahu, siapakah
dirimu dan diriku, putri mahkotaku”.
Ah, lelaki itu lagi yang
mengusikku, lelaki yang selalu memberikan sebait kata manja. Aku
bertanya-tanya, mungkinkah ia ayahku? Ah, aku jadi bingung, apa yang
harus kulakukan? Meneruskan membaca lembar-lembar lusuh ini, atau
menemuinya?
Aku tak tahu.
Tags:
FlashFiction
0 komentar