MENGAIS MALAM

Senja masih merah jingga, dan perlahan merangkak. Dan aku, masih berjalan menyusuri sungai di desaku, menuju kota. Terhitung hari ini aku mulai bekerja di tempat yang baru. Aku sendiri pun tak tahu, apakah aku benar bekerja. Yang kutahu, setelah berhenti dari tempat kerjaku yang lama, aku pusing mencari kerja. Pesangon yang tak seberapa sudah mulai habis, dan aku harus segera bergerak untuk bekerja. Untunglah beberapa hari lalu aku bertemu dengan teman lamaku, senasib korban PHK hingga aku menyanggupinya ketika ia menawariku, bekerja yang tak biasa. Aku tak pikir panjang, demi anak perempuanku yang hampir setahun ini ditinggal ibunya, istriku yang tak menghormati Ijab Kabul yang dulu kuikrarkan di depan penghulu.
***
“Kamu sudah siap?” tanya temanku setelah aku berhenti di tempat pertemuan kami, di bawah jembatan layang. Aku mengangguk, menjawab pertanyaan itu.
“Sudah kau bawa peralatan yang aku berikan tadi siang?”
“Sudah Ron, semua sudah lengkap, beri aku waktu 15 menit menyiapkannya”
“Ok, kutunggu kamu di atas” katanya sambil menunjuk pembatas jalan yang memisahkan jalan tol dan jalan biasa. Kemudian ia pun mulai berjalan meninggalkanku.
Dalam hati, sebenarnya aku tak mau melakukan pekerjaan ini. Tapi, aku bukanlah bapak yang baik jika tak mau mengorbankan semuanya, karena anakku butuh uang, butuh makan dan hanya aku satu-satunya yang bisa meluluskannya. Dia masih kecil, masih kelas dua SD dan aku tak mungkin menyuruhnya bekerja.

Setelah kurasa semua siap, aku berjalan menuju tempat Roni. Dan sesuai petunjuknya, aku dilarang memanggilnya, cukup mengerdipkan mata jika ingin berbicara padanya. Aku mulai beraksi, sambil mengingat training singkat dari Roni tadi siang. Aku mulai menebar jala, siapa tahu sopir-sopir murahan itu lewat dan berhenti ingin menggunakan jasaku. Berdasar cerita Roni, semalam jika beruntung beberapa puluh ribu bisa aku dapatkan di sini, kupikir cukup menghidupi kebutuhanku, kebutuhan anakku.

Dan aku beruntung, mobil box mendekat.
“Berapa 15 menit?” sahut sopir itu berbicara padaku.
“20 ribu saja”
“15 ribu ayo naik”, tawar sopir itu
Tanpa pikir panjang aku naik, dan hampir aku lupa menyebut namaku.
“Namaku Selly Bang” menggantikan nama asliku, Sony.
***

Share:

0 komentar